Jumat, 27 Januari 2012

Pelantikan HMP Epid



Di pagi yang baru saja mengantar siang, aroma embunpun sedikitnya masih mengudara. Sepoi-sepoi berkejaran diantara pohon-pohon cemara yang berderet di depan bangunan petak yang mereka sebut ruang, kursi teratur dengan boardwhite yang menggantung di dinding.

Tidak berapa jauh dari ruang-ruang kecil itu, ada sebuah bangunan dengan tingkat tiganya masih dalam proses. Nampak beberapa lelaki yang sedang menyusun bata dan mengaduk semen. Namun di bawah bangunan berpamplet “ Akademik fakultas Kesehatan masyarakat” itu banyak mahasisiwa yang lalu lalang. Sekedar melihat-lihat papan pengumuman juga ada yang masuk kedalam ruang akademik itu.

Kamis, 26 Januari 2012

Si Pembuat Rencong


Lelaki itu (25), tubuhnya tampak bergoyang, terduduk dengan posisi menunduk. Kaki kanan disikukan, sementara sebelahnya lagi dibiarkan menjuntai, menyentuh tanah. Gerakan badannya, sekali kedepan, sesekali ke belakang. Kadang cepat kadang juga lambat. Tangan kanannya, memegang sebilah besi tipis, bergigi-gigi. Dan tangan kiri memegang sebilah kuningan. Lalu ia mempertemukan kedua bilah ditangannya, berkali-kali. Tubuhnya mengikuti gesekan itu, hingga kuningan itu tampak mengkilat. Begitulah seterusnya.

Lelaki disampingku itu bernama Maulidin, ia salah satu pembuat rencong di Baet. Selain ia, ada beberapa pemuda lainnya yang berketerampilan sama. Disana, di gubuk itu ia bersama lima rekan kerjanya saban hari mengikis kuningan-kuninang itu dengan sabar. 

Di gubuk itu, rekannya yang lain, ada yang sedang memanaskan besi. Setelah beberapa saat, hingga besi itu memerah dan berbara. Kemudian, besi yang seakan tak lagi pada wujudnya, di tumbuk-tumbuk dengan besi yang lainnya. Berulang-ulang. Hingga menjadi kerangka pedang.

Maulidin melakukan pekerjaan itu disela-sela kuliahnya yang kosong. Sebelum dan sehabis pulang kuliah, ia menghabiskan waktunya di gubuk yang memang tempat ia mensulap besi-besi itu menjadi sesuatu yang indah dan berharga.

Aku Bukan Anak Durhaka


Pagi sekali, matahari masih malu-malu menampakkan dirinya dibalik bukit. Seakan berlomba dengannya, perempuan berkulit sawo matang telah bangkit dan mengambil beberapa buku di atas meja yang berserakan setelah di baca semalam, hari ini ada ulangan mata kuliah kimia di kampus. Dengan cepat pintu di buka ia pun turun melewati satu persatu anak tangga tanpa meneguk segelas air putih pun. Maklum jarak yang di tempuh dengan jalan kaki sekitar satu kilometer dari kampusnya, ia memilih jalan kaki untuk menghemat uang saku. Hidup di kota tak semudah di kampung, memang.
Ia menyelusuri trotoar jalan, berjalan pelan sambil menikmati ukiran pagi begitu indah. Langit nan biru terbentang luas, udara tanpa debu, asap rokok dan kendaraan. Rimbunan kaki bukit yang hijau burung-burung beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Lukisan Tuhan yang tak mampu ditandingi manusia. Manusia seharusnya bersyukur bukan malah mengotak-ngatiknya. Ah langkah kakinya mengayun cepat meninggalkan pemandangan yang tak sedap itu.

Tawuran Dikalangan Remaja


Poto. Net
Baru-baru ini Aceh dikejutkan oleh tawuran antar pelajar. Ratusan pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 4 dan SMAN 8 Banda Aceh terlibat tawuran, (Selasa,4/10 BANDA ACEH—MICOM). Tawuran yang dipicu oleh sebuah tulisan di dinding kelas yang bernada ejekan. Sehingga pelajar yang merasa sekolahnya terejek melempar batu kearah pelajar yang mengejek. Terjadilah saling lempar batu yang berakibat pada tawuran.
Sepele memang, hanya berawal dari sebuah tulisan hingga berakibat tawuran lalu lahirnya korban-korban. Namun masih beruntung tawuran yang terjadi kamarin tidak sampai menelan korban jiwa selain dari bangunan sekolah seperti kaca jendelanya pecah, pagar roboh dan sepeda motor yang hancur. Kerugian hanya di segi material saja. Lalu coba kita lihat tawuran yang terjadi di luar Aceh, berapa orang yang mengalami luka-luka serta kerugian materialnya. Tidak hanya dari pihak yang terlibat lansung tapi juga dampaknya terhadap masyarakat atau pengguna jalan.