Ku takut tak
sempat ataupun bisa nanti aku tak ingat. Makanya ku tulis cepat-cepat. Dimalam
yang gelap dengan dingin diluar mengendap, tapi aku berkeringat. Ku nyalakan
laptop untuk menerangi , hanya untuk aku meratap. Betapa ku berikan luang, pada
ruang yang membuat ku pengap. Ku katakan
untuk kedua kalinya aku tersesat dalam senyum yang menyengat, dalam tatap yang
sedap. Hatiku pun merapat-rapat.
Jantung berdetak cepat-cepat.
Ku temukan jawabannya
bahwa mimpiku telah kiamat. Badai rupanya datang sebelum sempat puing-puing
hati ku ikat. Sakit mendera jiwa hingga ke sekat-sekat, luka berdarah rupanya.
Sungguh melarat. Meleleh, bersamudera.
Ku umpakan hatimu bagaikan sebuah perahu
yang hendak berangkat, rupanya aku tak bertempat. “Selamat-selamat” bukan untuknya. Tapi untuk
ku yang tersesat. Selamat jalan
perahuku, layar coklat itu hilang lamat-lamat. Aku ingat kata dia, kata seorang
sahabat. Ketika aku bertanya bagaimana
aku melupakannya “bahwa jangan menulis tentang rasa tapi berkaryalah” oleh
sebab itu cerita ini ku persingkat, sebab aku ingin berkarya.
0 komentar:
Posting Komentar