Doda idi doda idang
Geulayang blang ka putoh taloe
Beurijang rayek si Banta seudang
Jak tulong prang musoh nanggroe
Jelang siang, Po Minah bersila di lantai papan. Kaki
kanannya menjulur ke depan, sedang kirinya dilipat empat puluh lima derajat.
Tangan kirinya menopang pelipis sementara siku menekan paha, tangan kanannya
menarik tali ayunan. Sambil mengunyah sirih, kepala mengangguk-angguk, ke kiri dan kanan,
sembari mengucapkan syair di atas. Liur merah—bekas kunyahan sirih—melumuri
bibirnya. Sinyak
Puteh tertidur pulas, seperti seseorang
baru saja terlena oleh buluh perindu yang ditiupkan penyair.
Rumah Po Minah dekat rumah Kak Betty. Pintu dapur keduanya saling berhadapan, hanya sepuluh meter, sehingga dendangan keduanya saling bentrok terkadang. Po Minah biasanya
meninabobokan Nyak Puteh di kolong rumah panggung. Tapi hari ini di tangga penyangga pintu depan rumah.
Tak ada tivi atau radio di rumah Po
Minah, dan tak mau membelinya jika suatu saat nanti punya duit lebih. Ia meninabobokan
anaknya dengan melantunkan bait-bait doda idi dan mengucapkan lafal-lafal
Allah.
Po Minah itu kuno, kata Kak Betty. “Aminah itu kolot,” kata
istri sopir bus itu pada kawannya setiap menghadiri arisan sesama ibu-ibu yang sering
ditinggal suami. “Sok alim. Gak boleh kebarat-baratanlah, gak boleh melupakan
budaya Acehlah,” dua bibir Kak Betty sengkarut saat mengucapkan kalimat itu.
“Gak jaman ya doda idi,” kata ibu dua anak yang mengubah nama panggilannya
sejak tiga tahun lalu, dari Cupo Ati menjadi Kak Betty, meniru idolanya tokoh
dalam telenovela Betty La Fea yang diputar di RCTI pada 2002.
Nyak Puteh membuka mata, tampak sayu. Po Minah
memergokinya. Ia kembali
mendodaidikannya, sembari membersihkan tauge untuk kuah sayur nanti makan
siang. Itu sisa tauge terakhir yang dibeli suaminya seminggu lalu. Ia teliti
melumati akar-akar yang tampak menghitam. Nyak Puteh kembali terlelap di saat
ia menuntaskan taugenya.
Sementara meninggalkan putranya yang masih berusia setahun,
Po Minah bangkit. Sembari menunggu suaminya pulang dari berkebun, ia menanak
nasi, memasak sayur, dan menggoreng ikan asin. Dada Nyak Puteh kembang-kempis
ladat, meski letupan kecil dari kuali gorengan ikan terus meyembur.
Tak begitu jauh, sepertinya Kak Betty sudah pulang. Tangisan
anaknya berusia setahun juga, Adel—nama panggilan dari Afdal, kian nyaring
terdengar. Seperti biasa sejak diberi susu model terbaru dua bulan lalu, Adel
selalu menangis asal tiba di rumah, dan membuat tetangga harus tutup kedua
kuping sejenak.
Ayunan Nyak Puteh mulai terguncang-guncang. Po Minah bisa
merasakan itu meski tengah membelakinginya karena ladat menggoreng. Ia berbalik
dan meraih tali ayunan. Segera didendangkannya syair di atas. Mata Nyak Puteh
mulai terpejam lagi.
Dari sebelah, di rumah semipermanen, Kak Betty juga harus
meninabobokan Adel, kebiasaan anaknya kalau sudah menangis sesenggukan.
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh eh eh eh
Lagu Orang Gila itu, kalau kata Po Minah, memecah kesunyian
siang. Kak Betty menyetel volume tape playernya ke arah bertanda tambah, kian
berdentum.
Po Minah mendapati mata Nyak Puteh terbelalak. “Hai, pakon kreuh that neuweng musik/Kenapa
keras sekali putar musiknya?” Perempuan tiga puluh lima tahun itu menegur
tetangganya yang setahun lebih muda. “Galak-galak
long lah/Suka-suka aku dong!” sahut dari sebelah.
Po Minah bilang pada Kak Betty, kalau memang tak suka dengan
dodaidinya, jangan putar musik keras-keras, apalagi lagu Barat, tapi cukup
sekadarnya saja.
“Jeutlah aneuk lon jaga
meunyo u benan su, tapi aneuk gata kon han teungeut cit/Okelah kalau
sebesar itu suaranya anak saya terjaga dari tidurnya, tapi anak kamu kan tak
bisa tidur juga,” Po Minah menggugat.
Kak Betty membantah. “Bek
neujak boh ato long/Jangan atur saya.” Po Minah cemberut. Ia membungkam.
Namun mendesis, “Kalon tuema, ek na lom
lagu nyan/Lihat nanti, bertahankah lagu itu.”
Sewaktu kecil, Minah dan Wati sangat akrab. Di sekolah dasar,
mereka duduk sebangku sejak kelas satu. Pernah waktu naik kelas empat, wali
kelas memisahkan mereka berdua. Namun Wati merengek-rengek, tak mau pisah
duduk. Entah karena ia harus selalu mencontek Minah jika diberikan tugas.
Ketika tak sekolah pun, mereka selalu berdua. Cuci pakaian ke
kali juga berdua melulu. Mengaji di pesantren juga beruda, kalau satu tak bisa
datang, dua-duanya enggak hadir. Mereka sudah seperti baju dan celana. Beranjak
sekolah menengah pertama pun, Wati tak mau pisah, sementara Minah boleh dengan
siapa saja.
Semua hal harus dilalui bersama. Hanya ketika kelas tiga
sekolah menengah atas, mereka pernah berjanji. “Selama ini kita selalu
bersama-sama, bagaimana kalau kita buat janji: kita tak nikah dan kain pada
tanggal, bulan, dan tahun yang sama?” kata Minah dalam bahasa Indonesia
terbata-bata, mencoba belajar berbahasa sesuai isi Sumpah Pemuda.
“Baik, satu lagi: kita tak boleh tinggal sekomplek,” Wati
menawarkan, dengan bahasa Indonesia agak cair, di tahun 1996 itu, masa-masa awal
membuminya film India di Indonesia. Minah mengangguk. Keduanya mengawinkan
kelingking: Minah kanan, Wati kiri.
Tamat SMA, mereka sama-sama menyambung ke sekolah tinggi
swasta. Minah memilih jurusan guru pendidikan agama. Wati jurusan guru kimia, seperti
pelajaran kesukaannya sewaktu SMA meski ia mendapat nilai terendah dibanding
mata pelajaran lain. Di semester tingkat akhir kuliah, Wati memaksa
kawan-kawannya memanggilnya Betty. Ia fanatik sekali pada Betty Lavea. Ia juga
mulai menggunakan pakaian minimalis. Minah geleng-geleng kepala melihatnya.
Geleng-geleng kepala itu terus berlanjut hari ini. Kak Betty
terus memutar Lagu Orang Gila meski sudah ditegurnya. Po Minah membangunkan
Nyak Puteh. Mematikan kompor. Lekas ia keluar rumah. Ia temui Pak Keuchik,
meminta nasihati Kak Betty agar tak lagi memutar musik keras-keras ketika
meninabobokan anak. Hanya dua hari menurut, Kak Betty kembali melakukan hal
sama kemudian. Semua orang kampung pun mulai bergosip perihal ketidak-akuran
hubungan keduanya. Po Minah kemudian membujuk suaminya pindah ke rumah
mertuanyanya di gampong tetangga. Suaminya, Bang Dolah, tak mau. Sebab rumah
ibunya sangat kecil. Hanya mampu menampung kedua orangtuanya dan adik
terkecilnya. Suaminya ingin mereka tetap di rumah orangtua Po Minah meskipun
sepi dan harus besar sabar. Po Minah tinggal sebatang kara setelah ditinggali
kedua orangtuanya beberapa tahun lalu, sementara ia tak punya saudara kandung.
Ia juga enggan jika harus numpang ke rumah saudara sepupu. Sabar-sabarlah sepasang
suami-istri satu anak itu.
Pada 2007, Minah dan Betty hampir nikah di hari yang sama.
Betty sengaja melakukan itu agar ia tak sempat menghadiri acara Minah, sebab ia
sudah benci sahabat kecilnya itu sejak ia mengajar di bekas SMP-nya dulu, di
mana Minah selalu menyindirnya: “Siapa tak bisa jadi guru kalau ada saudara di
sekolah itu. Pasti dilolosi sama saudaramu.” Minah mengatakan itu bukan karena
iri. “Tapi, saya tak ingin negeri ini semakin banyak praktik nepotismenya,”
kata Minah pada kawan satu kuliahnya ketika ditanya kenapa tak jadi guru
honorer saja di bekas SMP-nya. “Lebih baik mengajari anak sendiri dibanding
mengajari anak orang dengan proses yang tak halal,” kata Minah lagi. Tapi
sehari jelang pernikahan, Minah memaksa kedua belah pihak wali juga calon
suaminya agar pernikahan digeser seminggu; Minah ingin menyaksikan pernikahan
dan perkawina Betty, untuk menyambung kebahagiaan masa-masa kecil, meski nanti
Betty tak mau hadiri pestanya. Tapi seminggu kemudian, Betty tak hadiri acara
Minah; Betty cepat beritahukan Minah bahwa ia berbulan madu ke ibukota sehari
usai kawin selama dua minggu. Minah maklum saja.
Suami Betty tak banyak tahu perselisihan antara istrinya
dengan istri tetangga. Ia sopir kontainer pengangkut barang ke Medan. Paling hanya
tiga kali dalam sebulan pulang kampung, itupun sekali pulang hanya semalam di
rumah, kemudian berangkat lagi. Kadang-kadang Betty jengah juga dengan kondisi
itu. Ketika kangen, Betty akan menghubungi suaminya—selalu dalam keadaan sedang
meninabobokan Radit. Dibilangnya: “Bang, nanti bawa pulang lagu Barat lagi ya.
Ni buah hati kita nyenyak banget tidurnya dengar Umbrella.” Dari seberang:
“Iya, sayang.”
Pebincangan itu sempat didengar Po Minah. Ia tak mau itu
terjadi, sebab akan terus mengganggu tidur putranya. Ia mencari solusi. Jelang
Hari Ibu, ia mendapati kabar ada lomba meninabobokan anak yang diadakan sebuah
lembaga swadaya masyarakat bergerak di bidang perempuan.
“Alah, awai lon teupeu nyan. Gata han meunang!/Duluan saya
tahu itu. Kamu takkan menang!,” cerocos Betty sembari masak di dapur, begitu
seorang tetangga lain mengabari Minah tentang lomba itu. Sambil menyambung
penuturan Minah itu, Betty sms teman arisannya, menanyakan apa benar ada lomba
meninabobokan anak.
“Get lah, takalon teuma/Bagus
lah, kita lihat nanti,” balas Minah, santai. Betty juga bilang bahwa lomba itu
hanya untuk ibu-ibu yang ikut perkembangan zaman. “Hai Minah, meunyo kha gata,
tanyoe taruhan: menyo lon meunang, bek kudeungo le cae nyan, sebalek jih menyo
gata meunag, lon piyoh pudep lagu nyoe.” Betty bikin taruhan, jika ia menang
maka Minah tak boleh lagi meninabobokan anaknya dengan membacakan syair secara
nyaring, sebaliknya, jika ia kalah maka akan berhenti memutar lagu Barat. Baik,
kata Minah. Minah pun bertekad kuat menggugah perempuan lain saat lomba nanti
dengan membawakan syair-syair perjuangan.
Doda idi doda idang
Geulayang blang ka putoeh taloe
Beurijang rayek si Banta sedang
Jak tulong prang musoh nanggroe
Begitu Minah melantukannya pada lomba sehari sebelum 22
Desember, selain syair mengandung pujian pada Ilahi. Sementara Betty
mengandalkan lagu Umbrella yang membuat penonton dan juri tersenyum sipu
mendengarnya dan geleng-geleng kepala. Ada beberapa peserta lain dengan
lagu-lagu Aceh. “Kecuali Betty, banyak yang meninabobokan anak dengan membawa
syair Aceh dan pujian pada ilahi, namun yang paling menyentuh dan merdu pada
lomba kali ini,” sang juri jeda sejenak dengan menatap semua peserta, sementara
Betty menyetel pengeras suara hapenya agar dapat didengar suami dan Minah
menadahkan dua tangan, “adalah…,” sambung juri, “Aminah binti Husen atau Po
Minah.”[]
Editor : Makmur Dimila
The Atjeh Post
The Atjeh Post
0 komentar:
Posting Komentar