Minggu, 26 Agustus 2012

Doda Idi


Acehpost

Doda idi doda idang
Geulayang blang ka putoh taloe
Beurijang rayek si Banta seudang
Jak tulong prang musoh nanggroe
Jelang siang, Po Minah bersila di lantai papan. Kaki kanannya menjulur ke depan, sedang kirinya dilipat empat puluh lima derajat. Tangan kirinya menopang pelipis sementara siku menekan paha, tangan kanannya menarik tali ayunan. Sambil mengunyah sirih, kepala mengangguk-angguk,  ke kiri dan kanan, sembari mengucapkan syair di atas. Liur merah—bekas kunyahan sirih—melumuri bibirnya. Sinyak Puteh tertidur pulas, seperti seseorang baru saja terlena oleh buluh perindu yang ditiupkan penyair.
Rumah Po Minah dekat rumah Kak Betty. Pintu dapur keduanya saling berhadapan, hanya sepuluh meter, sehingga dendangan keduanya saling bentrok terkadang. Po Minah biasanya meninabobokan Nyak Puteh di kolong rumah panggung. Tapi hari ini di tangga penyangga pintu depan rumah.
Tak ada tivi atau radio di rumah Po Minah, dan tak mau membelinya jika suatu saat nanti punya duit lebih. Ia meninabobokan anaknya dengan melantunkan bait-bait doda idi dan mengucapkan lafal-lafal Allah.
Po Minah itu kuno, kata Kak Betty. “Aminah itu kolot,” kata istri sopir bus itu pada kawannya setiap menghadiri arisan sesama ibu-ibu yang sering ditinggal suami. “Sok alim. Gak boleh kebarat-baratanlah, gak boleh melupakan budaya Acehlah,” dua bibir Kak Betty sengkarut saat mengucapkan kalimat itu. “Gak jaman ya doda idi,” kata ibu dua anak yang mengubah nama panggilannya sejak tiga tahun lalu, dari Cupo Ati menjadi Kak Betty, meniru idolanya tokoh dalam telenovela Betty La Fea yang diputar di RCTI pada 2002.
Nyak Puteh membuka mata, tampak sayu. Po Minah memergokinya.  Ia kembali mendodaidikannya, sembari membersihkan tauge untuk kuah sayur nanti makan siang. Itu sisa tauge terakhir yang dibeli suaminya seminggu lalu. Ia teliti melumati akar-akar yang tampak menghitam. Nyak Puteh kembali terlelap di saat ia menuntaskan taugenya.
Sementara meninggalkan putranya yang masih berusia setahun, Po Minah bangkit. Sembari menunggu suaminya pulang dari berkebun, ia menanak nasi, memasak sayur, dan menggoreng ikan asin. Dada Nyak Puteh kembang-kempis ladat, meski letupan kecil dari kuali gorengan ikan terus meyembur.
Tak begitu jauh, sepertinya Kak Betty sudah pulang. Tangisan anaknya berusia setahun juga, Adel—nama panggilan dari Afdal, kian nyaring terdengar. Seperti biasa sejak diberi susu model terbaru dua bulan lalu, Adel selalu menangis asal tiba di rumah, dan membuat tetangga harus tutup kedua kuping sejenak.
Ayunan Nyak Puteh mulai terguncang-guncang. Po Minah bisa merasakan itu meski tengah membelakinginya karena ladat menggoreng. Ia berbalik dan meraih tali ayunan. Segera didendangkannya syair di atas. Mata Nyak Puteh mulai terpejam lagi.
Dari sebelah, di rumah semipermanen, Kak Betty juga harus meninabobokan Adel, kebiasaan anaknya kalau sudah menangis sesenggukan. 
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh
Under my umbrella
Ella ella eh eh eh eh eh eh
Lagu Orang Gila itu, kalau kata Po Minah, memecah kesunyian siang. Kak Betty menyetel volume tape playernya ke arah bertanda tambah, kian berdentum.
Po Minah mendapati mata Nyak Puteh terbelalak. “Hai, pakon kreuh that neuweng musik/Kenapa keras sekali putar musiknya?” Perempuan tiga puluh lima tahun itu menegur tetangganya yang setahun lebih muda. “Galak-galak long lah/Suka-suka aku dong!” sahut dari sebelah.
Po Minah bilang pada Kak Betty, kalau memang tak suka dengan dodaidinya, jangan putar musik keras-keras, apalagi lagu Barat, tapi cukup sekadarnya saja.
Jeutlah aneuk lon jaga meunyo u benan su, tapi aneuk gata kon han teungeut cit/Okelah kalau sebesar itu suaranya anak saya terjaga dari tidurnya, tapi anak kamu kan tak bisa tidur juga,” Po Minah menggugat.
Kak Betty membantah. “Bek neujak boh ato long/Jangan atur saya.” Po Minah cemberut. Ia membungkam. Namun mendesis, “Kalon tuema, ek na lom lagu nyan/Lihat nanti, bertahankah lagu itu.”
Sewaktu kecil, Minah dan Wati sangat akrab. Di sekolah dasar, mereka duduk sebangku sejak kelas satu. Pernah waktu naik kelas empat, wali kelas memisahkan mereka berdua. Namun Wati merengek-rengek, tak mau pisah duduk. Entah karena ia harus selalu mencontek Minah jika diberikan tugas.
Ketika tak sekolah pun, mereka selalu berdua. Cuci pakaian ke kali juga berdua melulu. Mengaji di pesantren juga beruda, kalau satu tak bisa datang, dua-duanya enggak hadir. Mereka sudah seperti baju dan celana. Beranjak sekolah menengah pertama pun, Wati tak mau pisah, sementara Minah boleh dengan siapa saja.
Semua hal harus dilalui bersama. Hanya ketika kelas tiga sekolah menengah atas, mereka pernah berjanji. “Selama ini kita selalu bersama-sama, bagaimana kalau kita buat janji: kita tak nikah dan kain pada tanggal, bulan, dan tahun yang sama?” kata Minah dalam bahasa Indonesia terbata-bata, mencoba belajar berbahasa sesuai isi Sumpah Pemuda.
“Baik, satu lagi: kita tak boleh tinggal sekomplek,” Wati menawarkan, dengan bahasa Indonesia agak cair, di tahun 1996 itu, masa-masa awal membuminya film India di Indonesia. Minah mengangguk. Keduanya mengawinkan kelingking: Minah kanan, Wati kiri.
Tamat SMA, mereka sama-sama menyambung ke sekolah tinggi swasta. Minah memilih jurusan guru pendidikan agama. Wati jurusan guru kimia, seperti pelajaran kesukaannya sewaktu SMA meski ia mendapat nilai terendah dibanding mata pelajaran lain. Di semester tingkat akhir kuliah, Wati memaksa kawan-kawannya memanggilnya Betty. Ia fanatik sekali pada Betty Lavea. Ia juga mulai menggunakan pakaian minimalis. Minah geleng-geleng kepala melihatnya.    
Geleng-geleng kepala itu terus berlanjut hari ini. Kak Betty terus memutar Lagu Orang Gila meski sudah ditegurnya. Po Minah membangunkan Nyak Puteh. Mematikan kompor. Lekas ia keluar rumah. Ia temui Pak Keuchik, meminta nasihati Kak Betty agar tak lagi memutar musik keras-keras ketika meninabobokan anak. Hanya dua hari menurut, Kak Betty kembali melakukan hal sama kemudian. Semua orang kampung pun mulai bergosip perihal ketidak-akuran hubungan keduanya. Po Minah kemudian membujuk suaminya pindah ke rumah mertuanyanya di gampong tetangga. Suaminya, Bang Dolah, tak mau. Sebab rumah ibunya sangat kecil. Hanya mampu menampung kedua orangtuanya dan adik terkecilnya. Suaminya ingin mereka tetap di rumah orangtua Po Minah meskipun sepi dan harus besar sabar. Po Minah tinggal sebatang kara setelah ditinggali kedua orangtuanya beberapa tahun lalu, sementara ia tak punya saudara kandung. Ia juga enggan jika harus numpang ke rumah saudara sepupu. Sabar-sabarlah sepasang suami-istri satu anak itu.
Pada 2007, Minah dan Betty hampir nikah di hari yang sama. Betty sengaja melakukan itu agar ia tak sempat menghadiri acara Minah, sebab ia sudah benci sahabat kecilnya itu sejak ia mengajar di bekas SMP-nya dulu, di mana Minah selalu menyindirnya: “Siapa tak bisa jadi guru kalau ada saudara di sekolah itu. Pasti dilolosi sama saudaramu.” Minah mengatakan itu bukan karena iri. “Tapi, saya tak ingin negeri ini semakin banyak praktik nepotismenya,” kata Minah pada kawan satu kuliahnya ketika ditanya kenapa tak jadi guru honorer saja di bekas SMP-nya. “Lebih baik mengajari anak sendiri dibanding mengajari anak orang dengan proses yang tak halal,” kata Minah lagi. Tapi sehari jelang pernikahan, Minah memaksa kedua belah pihak wali juga calon suaminya agar pernikahan digeser seminggu; Minah ingin menyaksikan pernikahan dan perkawina Betty, untuk menyambung kebahagiaan masa-masa kecil, meski nanti Betty tak mau hadiri pestanya. Tapi seminggu kemudian, Betty tak hadiri acara Minah; Betty cepat beritahukan Minah bahwa ia berbulan madu ke ibukota sehari usai kawin selama dua minggu. Minah maklum saja.
Suami Betty tak banyak tahu perselisihan antara istrinya dengan istri tetangga. Ia sopir kontainer pengangkut barang ke Medan. Paling hanya tiga kali dalam sebulan pulang kampung, itupun sekali pulang hanya semalam di rumah, kemudian berangkat lagi. Kadang-kadang Betty jengah juga dengan kondisi itu. Ketika kangen, Betty akan menghubungi suaminya—selalu dalam keadaan sedang meninabobokan Radit. Dibilangnya: “Bang, nanti bawa pulang lagu Barat lagi ya. Ni buah hati kita nyenyak banget tidurnya dengar Umbrella.” Dari seberang: “Iya, sayang.”
Pebincangan itu sempat didengar Po Minah. Ia tak mau itu terjadi, sebab akan terus mengganggu tidur putranya. Ia mencari solusi. Jelang Hari Ibu, ia mendapati kabar ada lomba meninabobokan anak yang diadakan sebuah lembaga swadaya masyarakat bergerak di bidang perempuan.
“Alah, awai lon teupeu nyan. Gata han meunang!/Duluan saya tahu itu. Kamu takkan menang!,” cerocos Betty sembari masak di dapur, begitu seorang tetangga lain mengabari Minah tentang lomba itu. Sambil menyambung penuturan Minah itu, Betty sms teman arisannya, menanyakan apa benar ada lomba meninabobokan anak.
Get lah, takalon teuma/Bagus lah, kita lihat nanti,” balas Minah, santai. Betty juga bilang bahwa lomba itu hanya untuk ibu-ibu yang ikut perkembangan zaman. “Hai Minah, meunyo kha gata, tanyoe taruhan: menyo lon meunang, bek kudeungo le cae nyan, sebalek jih menyo gata meunag, lon piyoh pudep lagu nyoe.” Betty bikin taruhan, jika ia menang maka Minah tak boleh lagi meninabobokan anaknya dengan membacakan syair secara nyaring, sebaliknya, jika ia kalah maka akan berhenti memutar lagu Barat. Baik, kata Minah. Minah pun bertekad kuat menggugah perempuan lain saat lomba nanti dengan membawakan syair-syair perjuangan.
Doda idi doda idang
Geulayang blang ka putoeh taloe
Beurijang rayek si Banta sedang
Jak tulong prang musoh nanggroe
Begitu Minah melantukannya pada lomba sehari sebelum 22 Desember, selain syair mengandung pujian pada Ilahi. Sementara Betty mengandalkan lagu Umbrella yang membuat penonton dan juri tersenyum sipu mendengarnya dan geleng-geleng kepala. Ada beberapa peserta lain dengan lagu-lagu Aceh. “Kecuali Betty, banyak yang meninabobokan anak dengan membawa syair Aceh dan pujian pada ilahi, namun yang paling menyentuh dan merdu pada lomba kali ini,” sang juri jeda sejenak dengan menatap semua peserta, sementara Betty menyetel pengeras suara hapenya agar dapat didengar suami dan Minah menadahkan dua tangan, “adalah…,” sambung juri, “Aminah binti Husen atau Po Minah.”[]

Editor : Makmur Dimila


The Atjeh Post

0 komentar:

Posting Komentar