Rabu, 16 September 2015

Di Muka Jendela

Secangkir teh dan sepotong puisi hati, mengawali pagi ku yang sedang ranum-ranumnya. Dua potong tahu goreng, semoga menjadi energi untuk bansa cacing dalam perut.

"Selamat pagi, ingin ku titip kasih pada hati yang ingin ku yakini, tapi hati terlanjur jauh pergi,,,  Selamat pagi, puisi pagi untuk rindu yang telah pergi,,, Meneguk secangkir teh, bersama setetes embun yang hampir mengembang,, benar saja kemudian ia mengembang... Clup...."

Disini aku bisa menikmati pagi, sepertipagi dipegunungan. Mula mula cahaya terbit dari bilik pegunungan ranum. Embun-embun mengembang, terkulum sirna.
Mungkin kauakan membayangkan aku sedangberada di villa sebuah puncak. Tidak. Aku berdiri dilantai 2 dirumah yang tergolong sudah kota dan menghadap kearah matahari terbit. Makanya, aku sebut pegunungan disini bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis.

Dan disaat hari mulai condong, aku menunggu senja disini, walau tidak seperti senja dipinggir pantai,  saat ujung samudera mengulumnya dan meninggal bias. Sebenarnya, menikmati senja dipinggir pantai bersamamu adalah satuhal yang ku mimpikan. Kelak. Suatu saat.
  
Tapi senja disini saya yakini lebih dari senja apapun yang pernah tercipta,  ya senja yang kau hadirkan sendiri, sebagai hadiah kehadiran yang tidak sempat kau tepati. Sebab aku begitu penyuka senja.

Senja ini bisa ku tempatkan dimana saja, didepan monitor, didepan camera, didepancermin, diatas kasur,dan dimana-mana. Tapi aku lebih suka menatapnya dari sini.

Ahg, kau.. Hati ini masih saja gelisah saat menyebut. Hati ini masih saja bergetar.

Kau boleh saja pergi sejauh apapun, mengejar hati yang mungkin akan lebih tepat bagimu. Aku juga tidak menunggumu,apalagi pergi. Aku disini sedang menguatkan hati,dan menanti senja yang nyata. Disini, ada yang sedang ku perbaiki. 

Datanglah, saat kau sudah yakin.







0 komentar:

Posting Komentar