Jumat, 29 April 2011

Luka Ku...

Aku bersila di teras rumah sambil menikmati ukiran senja di kaki langit yang kian memerah. Sesekali semilir angin menampar pipiku, mengacak lamunan yang sedang ku rangkai tanpa sengaja. Ada perasaan tak enak meraba hati di sore hamper magrip itu, dengan berat hati ku raih handphone yang sejak tadi telah berdering di kantong celana ku, ternyata satu pesan “my heart” tertera di layar, bernada

“Aku kuliah di blang Pidie” 

Aku lunglai, otot ku berpisah satu sama lain, butiran beningpun berkunang di pelupuk mata, pelan mengaliri celah pipi. Tak pernah terlintas seujung benang pun kita akan berpisah dengan waktu yang lama. Inikah takdirku

Baru kemarin kita mengecap kemesraan, memadu kasih, bersenda gurau di bawah pohon akasia yang bergoyanng bersama angin mengalun seirama dengan deesah-desah hati dua insan yang di landa asmara saat-saat raja siang merangkak, melumuri sebagian tubuh kita. Namum semangat kita tak juga pudar.

 Kini impian itu hilang sudah, di telan bumi tak tersisa karena kau telah memilih untuk tak kembali kesini. Tak ada kenangan nyata dari hubungan dua tahun itu, karena dari SMA udara menjadi penyambung lidah ku dan lidah mu.
Rinduku rindumu menjadi tetesan embun yang tak sirna kala sang penguasa hari mengibas muka bumi, seperti tak ingin ketinggalan rindu itu semakin menggebu-gebu, berlari mengikuti jejak matahari menjemput senja dan berpatuk pada bulan menjadi lampu penerang setiap ayunan langkah ku, di celah-celah bulan terpatri wajahmu, di papan tulis tertera senyummu menghalau goresan putih pekat yang akan melekat pada papan hitam yang menggantung di dinding kelas.  

Likuk-likuk malam jadi saksi dari bisik-bisik kecil sang hati yang haus akan sentuhan lembutmu, kala pekatnya menyapa kita melalang buana, keseluruh penjuru bak dunia tiada yang punya, bermain lidah di restaurant kasih yang di kelilingi bunga sakura, di bawah sinar bulan yang merekah indah dan berpamitan ketika mentari hantaran malam tiba. Begitu sang surya terbesit, berlalu menyisa bahagia.

Setelah lulus, aku melanjutkan kuliah ke Banda Aceh memenuhi keinginan kedua orang tua ku. Aku tertunduk dalam. Aku memikirkan dia. Aku gelisah tumpukan-tumpukan entah dari mana asalnya bersarang di dibenakku, mengocak-ngocak tunduk ku.

Kala malam pelupuk mata sukar berkatup bagai marahan saja, walau ku coba untuk mendamaikan mereka usaha ku gagal, aku terus memikirkannya. Tak ada tempat untuk memarkirkan punggung, kasur ku di lilit duri tajam, ruang tamu persegi empat menjadi kolam tawar yang beriak setinggi ku, aku pengap. Saat kaki menyentuh lantai kapak-kapak kecil tertancap disana, di kursi, cermin, dinding, tak ada tempat ku berpijak. Gemuruh hati seakan membangunkan tetangga ku yang ada di Negara jiran. Gelisah yang ku rasa lenyap seketika, dia memberitahu ku akan kuliah di Banda Aceh.

Namun lagi-lagi aku terjatuh, tersungkur, asaku terbang menyelinap ke dasar samudera, membenam diri disana. Kenapa tidak, belum cukup kering tanah hati, bathin di derap remuk, hancur lebur bagai kepingan kaca. Pahit. Amat pahit.

Setelah beberapa hari yang lalu kau pamitan, ku terima kenyataan bersama cinta yang menumpuk di hati setelah pengumuman kelulusan, ternyata nama mu tidak tercantum disana. Bias-bias rindu yang semakin menggebu kini layu, gugur bersama daun-daun, terhempas. Bukan tak mungkin merajut kasih di balik gunung menjulang, laut yang membentang, aku telah terbiasa, hanya saja aku tak cukup kuat, hati ku terlalu rawan. Kau pun pulang dengan alasan yang sepele, terlihat jelas kau tak ingin menyelesaikan rajutan kasih itu.

Kini semua itu telah berlalu. Wajah mu telah ku titip pada angin malam pekatnya kini tak lagi mengenalmu, bulan tertunduk redup, tetesan embun sirna sebelum matahari sempat mencuumbunya. Dirimu telah ku kubur dalam-dalam, sedalam singgasana kerak bumi.

Kini kau dalam kenangan ku, ku paut didepan kampus hijau itu agar kau dapat melihatnya seberapa harap ku hancur. Sakit. Kau yang berhasil membuat ku menjadi pelangi di pagi hari, angan ku melambung tinggi melewati angkasa lalu kau jatuh kan tertimpa batu, berkeping-keping mengiliri sungai melewati batu-batu kecil hilang terbawa arus.

Itulah seulas cerita ku dua tahun yang lalu. Kini hari-hari ku lalui dengan hati tersenyum di tambah tugas kuliah yang menumpuk cukup menguras tenaga dan bathinku.

“Tit,,tit,,tit “ klakson roda dua menyapa lamunan yang melaju di gang rumah ku sambil melempar senyum. Hmm,,senyum itu. Padahal senyum itu telah di telan tikungan jalan beberapa menit yang lalu tapi mataku masih saja enggan beralih dari tikungan jalan itu, buyar seketika suara azan menggema di labirin telinga. Magrip pun tiba. Pria si pelempar senyum “maut” itu bernama Jojo, anak komplek sebelah . Temanku yang memberitahuku keesokan harinya.

0 komentar:

Posting Komentar