Kamis, 28 April 2011

Mimpi ku

Oleh Etty Rismanita Joseberg

Terdampar di sebuah beranda rumah aku bermimpi, didepan ada dua lorong, yang satu gelap gulita dan satunya lagi terang. Aku memutuskan masuk ke dalam jalan terang itu, kemilau matahari begitu beringasnya. Kelihatan tanah di sekitarnya kering kerontang.


Penasaran, perlahan ku coba kuak jalan terang berdinding curam nan tinggi melambung persis dinding jurang, tapi semakin ku kuak lorong itu semakin berkelok-kelok serta menanjak. Rasa takut pun menggelayut, tapi di ujung batas pandangan ku pada jalan semakin menanjak, mata ku menangkap satu kereta rongsokan setengahnya telah terbenam dalam tanah, cat birunya memudar dan berkarat. Terfikir oleh ku kereta itu telah di tinggal mati oleh pengendaranya, sebab tak jauh dari itu tergeletak satu tubuh tak utuh tertangkap bola mata ku, celana jeans sobek melekat di lutut dan betisnya .

 Aku berusaha melihat gerangan pria itu tapi sia-sia semakin aku melongok jalan itu semakin menanjak, wajahnya tertutup ilalang melambai ditiup angin lalu. Lama ku tatap ia sama sekali tak berkutik, terbesit dalam hatiku “ah sudah jadi mayat”. Dengan di hinggapi rasa takut aku memutuskan untuk berbalik meninggalkan jalan itu.

Mau tak mau aku harus melewati jalan gelap yang sejak tadi riuh dengan suara – suara binatang. Ku rogohkan kepala berusaha mencari siapa yang ada di dalam. Kosong. Aku berinisiatif melemparkan batu dalam ruang itu. pam,,,pam,,, batupun terbang dari tangan ku melayang memercikkan suara di lantai, tapi tak ada satu makhluk pun keluar dari ruang itu kecuali suara kepakan sayap-sayap binatang yang beterbangan. 

Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, ku ayunkan langkah kaki begitu lamban agar tidak bergesek dengan lantai. Srek,,, srek,,, suara gesekan sepatu dilantai. Aku terkejut. Terhenti sejenak, dengan cermat ku pasang mata dan telinga ku akan suara tapak itu. Tepatnya di depan pintu, remang-remang dari kejauhan terlihat satu bias sosok mendekati ku. Mula - mula perut, ujung hidung, pipi, dengan hitungan detik sosok itu hanya berjarak dua meter dengan ku. Mata ku terbelangak nyaris tak berkedip. Wow,,, aku mengenalnya. 

Dia mengajak ku masuk, berat hati serta was-was aku mengikutinya. Dia bercerita tentang kesedihannya, “semua itu karena kenangan” ucapnya saat ku tanya kenapa dia menyendiri di ruang gelap itu. Bulu kuduk ku merinding seketika, teringat aku akan cerpen yang pernah ku tulis mengisahkan tentang kenangan. Dengan tergopoh aku berdiri hendak lari tapi kedua tangannya terlanjur mencengkram leher ku.

Saat itu, ketakutan merajut seluruh tubuh gigi ku bergelatuk, peluh bersemburan dari setiap pori-pori ku. Aku menggigil dalam cengkraman tangannya. Aku harus lepas dari cengkraman ini, jika tidak aku akan tinggal dalam masa lalu. Aku tidak mau. Sekuat tenaga aku melawan. Wajah-wajah masa lalu berkejaran dalam memori, minta menetap. Akupun terlepas, terhempas. Kembali keberanda rumah yang samar-samar.

Hujan mengguyur lebat, halilintar sahut menyahut memecah belah malam itu menjadi dua musim, gelap dan terang berganti hanya dalam hitungan detik. Aku masih tersungkur di beranda dengan peluh tak henti-hentinya memuji Yang Maha Kuasa. Dalam isak tangis, gadis kecil tiba-tiba datang dan merangkul ku. Ku dekap dia. Tadahku menuju langit, bias-bias garis halilintar berapi-api bagai luka bekas cambuk tertoreh, dari kejauhan terlihat dimata ku. Tersentak aku oleh ciuman mentari menyusup tanpa permisi lewat tirai kamar.

Mimpi itu menyadarkan aku akan satu hal, dimanapun pilihan-pilihan selalu ada menanti di simpang-simpang kehidupan. Tiap pilihan yang terpilih tak semudah itu terjalani pengorbanan, usaha menyertai itu semua. Siap memilih siap pula dengan resiko. Dan tentang masa lalu sungguh itu musuh bila tak terkontrol dengan baik.


0 komentar:

Posting Komentar