Minggu, 11 September 2011

Muram Durja si Gadis Desa


Oleh : Etty Rismanita
                           
Aku bukan gadis hebat, cantik, kaya dan lain sebagainya. Aku hanya perempuan desa, tinggal di gubuk tua dipinggir rimba, bermain dengan ujung lidah gelombang tak berpagar. Dengan penuh keakuan ku, aku beruntung memilikimu mencintaimu adalah sebuah anugerah dalam hidupku.
Diawal cerita romantika ini di mulai telah terkata “ Aku bukan gadis kota”, “cintai aku dengan cara sederhana dan biasa”,  itu akan lebih berarti untuk ku.
Tapi sepertinya, keindahan yang hendak aku rangkaikan menjadi melati indah hanyalah sebuah angan, kini rangkainya mulai luruh seiring kelembutan jiwamu di telan angkuhmu. Rantingnya patah sebelum ku ikat, kelopaknya gugur sebelum ku sematkan dipohon cinta. Ternyata aku sipemimpi yang konyol, tiap hari menjadikan nyata disetiap bayangmu yang menjelma. Kala embun jatuh satu-satu ku telah bangun mengutip bayangmu yang tersisa dari mimpi, aku bergegas berlarian agar dikau tak dicumbui mentari.
Kelembutan mu menjadi duri menusuk sepotong hati yang berlabel namamu. Kian hari keremukan itu semakin terasa, membusuk di dada, tak jarang berairmata. Ku cuba tegar karena demi cinta dan rasaku yang masih ingin mendekap tubuhmu, aku ingin mendengar detak jantung mu tiap saat. Melihat senyummu kala mata ku terbuka dari kelelapan kau membawakan mawar merah sebgai tanda ketulusanmu. Tak ku temukan lagi !.
Begitu juga kala ku lalui jalan setapak yang berliku hendak ke surau, ku temukan bayangmu menggodaku dengan senyum jitumu menembak relungku. Oh Tuhan, biarkan aku terkapar di sajadah ini agar hatiku selalu suci dan lebih mengingatMu.
Namun kini, entah apa aku masih bisa bilang kalau aku sangat mencintaimu dengan bibir yang telah terkatup. Dengan hati yang telah berdarah. Ah aku terlalu sibuk mengeja goresan luka dikanvas jiwaku.
Ingatlah semua tentang ku sebelum kau melupakan aku karena aku tak akan datang keduakalinya. Ku lupakan semua tentang mu walau mengahabiskan tenaga ku, meskipun menguras sumur dimataku, mengalukan lidahku dalam melafaskan namamu walau sembuhku ada di tangan mu. Terlalu dalam luka yang kau berikan mengiris, aku memang gadis desa salahkah aku ingin bahagia?. Dengan tertatih ku punguti bingkai hati yang terkoyak kelak akan ku rangkai balik bila waktunya tiba.

Salam,
Kajhu, 11 September 2011




0 komentar:

Posting Komentar