Sabtu, 05 Mei 2012

Masyarakat Obyek Elite Politik Semata

Net
Matahari baru saja bangkit dari peraduannya, saat itu Mukhtar (40 tahun) mangayun langkah meninggalkan rumah kontrakannya. Laki-laki yang bermukim di Kajhu ini bergegas menuju tempat kerjanya di Desa Peunayong, Banda Aceh. Ia sehari-hari bekerja sebagai tukang jahit di sebuah Tailor. Pergi jam 8.00 pagi dan pulang ketika matahari telah membenamkan cahaya emasnya. Pekerjaan itu telah dilakukannya bertahun-tahun dan tentunya sudah  beberapa kali ikut terlibat dalam  Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Aceh.
Namun Pilkada kali ini yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi, ia seolah tak ambil pusing seperti beberapa warga lainnya yang sibuk mengurus Pilkada, menjadi timses (Tim Sukses) / tim pemenangan partai yang terusung, dan hal-hal lain sebagainya. Bahkan dalam satu keluarga, memiliki kandidat idola masing-masing. Tak jarang juga timbul pertengkaran antar sesama, antar suami istri, dan warga lainnya.
Bagi lelaki separoh baya ini, siapapun yang menjadi pemegang tampuk Nanggroe Aceh, hidupnya juga tak akan berubah “Hana penteng, nyang penteng na pheung si uroe-uroe ka jeut” (Gak penting, yang penting ada uang untuk sehati-hari sudah cukup) ujarnya menanggapi situasi Pilkada yang sedang berkecamuk di nanggroe ini. Bentuk kepesimisannya dan juga bagi beberapa warga lainnya tidaklah tanpa alasan, kepercayaan kepada pemimpin untuk memegang peranan layaknya seorang pemimpin tak lagi ada. Kata ingin mensejahterakan masyarakat hanyalah sebuah janji manis sebelum terpilih. Mereka mengobarkan janji akan membangun nanggroe ini kearah lebih baik, sektor ekonomi, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Yang pada akhirnya hanyalah sebuah mimpi dan kalaupun ada pasti tidak terelisasi dengan baik. Malah terlihat lebih menghambur-hamburkan uang daerah.
 Pilkada, Pilkada dan Pilkada. Itulah yang sedang bergumur di negeri Seramoe ini. Di media-media tak pernah absen memberitakan tentang pelaksanaan Pilkada, semua orang seakan terbius dan terlena oleh pemberitaan yang menyangkut dengan Pilkada, yang tak lain hanyalah berisi perdebatan-perdebatan antar kelompok.
 Kelompok yang satu menuding kelompok yang lain.  Pro dan kontra terhadap kelansungan Pilkada juga tak luput dari perbincangan para aneuk nanggroe ini. Namun program-program untuk membangun rakyat Aceh tak lagi di perbincangkan seakan luput dari pemikiran dan pembahasan para penguasa. Kesejahteraan dan keadilan rakyat terabaikan. Padahal sekedar membahas qanun Pilkada saja hampir dua milyar anggaran rakyat terkuras. 
Dengan iming-iming demi kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat Aceh, mereka di undang dalam keunduri politik dengan harapan Aceh ini akan maju. Sayang, pada kenyataannya keadilan tak pernah merata, hanya untuk kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat hanyalah sebuah obyek dalam keunduri politik bukan subyek.
          Ini kata Agusta Mukhtar, juru bicara MPD (Masyarakat Pro Demokrasi) mengenai permasalahan kekuasan elite politik terhadap masyarakat.
Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) itu tidak bisa diganggu gugat, kita bisa mengacu pada pasal 256 yang membolehkan calon independen. MK telah telah memberikan hak demokrasi dan hak konstitusi bagi rakyat Aceh untuk maju.
Sementara dilain pihak menolak kebijakan tersebut. Disinilah konflik Pilkada bermula. Ia juga menegaskan bahwa ini bukanlah konflik regulasi melainkan konflik kepentingan antar kelompok yang ada di Aceh. Dan menyeret masyarakat dalam ketakadilan elite politik para penguasa.
“ Sampai saat ini realisasi anggaran APBA 2011 masih sangat minim” dan realisasinya hanya sampai di dinas-dinas baru berkisar 40 sampai 50 % karena seluruh komponen atau kelompok yang ada di Aceh hari ini tercurah tenaganya untuk memikirkan kondisi Pilkada yang akan berlansung. Tidak ada yang membicarakan program-program tentang kesejahteraan rakyat seperti pembangunan dan lain-lainnya.
Ia juga menyampaikan kalau kita mau melihat lebih dalam lagi Pilkada hanyalah sebuah momentum dalam proses perdamaian di Aceh, masih ada hal-hal lain yang harus dilakukan oleh legislatife dan ekskutif yaitu memberikan rasa keaadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh secara menyeluruh. Tidak lagi seperti keunduri politik. Mereka di panggil beramai-ramai ikut menyukseskan lalu setelah itu, masyarakat sendiri-sendiri, pihak kenduri sendiri-sendiri.
Ia juga berharap, Pilkada kedepan dapat berjalan damai siapapun yang akan jadi pemimpin mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh rakyat Aceh. (15/11)

0 komentar:

Posting Komentar