Net |
Matahari
baru saja bangkit dari peraduannya, saat itu Mukhtar (40 tahun) mangayun
langkah meninggalkan rumah kontrakannya. Laki-laki yang bermukim di Kajhu ini
bergegas menuju tempat kerjanya di Desa Peunayong, Banda Aceh. Ia sehari-hari
bekerja sebagai tukang jahit di sebuah Tailor.
Pergi jam 8.00 pagi dan pulang ketika matahari telah membenamkan cahaya
emasnya. Pekerjaan itu telah dilakukannya bertahun-tahun dan tentunya
sudah beberapa kali ikut terlibat
dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah)
Aceh.
Namun
Pilkada kali ini yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi, ia seolah tak
ambil pusing seperti beberapa warga lainnya yang sibuk mengurus Pilkada,
menjadi timses (Tim Sukses) / tim pemenangan partai yang terusung, dan hal-hal
lain sebagainya. Bahkan dalam satu keluarga, memiliki kandidat idola masing-masing.
Tak jarang juga timbul pertengkaran antar sesama, antar suami istri, dan warga
lainnya.
Bagi
lelaki separoh baya ini, siapapun yang menjadi pemegang tampuk Nanggroe Aceh,
hidupnya juga tak akan berubah “Hana penteng, nyang penteng na pheung si uroe-uroe
ka jeut” (Gak penting, yang penting ada uang untuk sehati-hari sudah cukup) ujarnya
menanggapi situasi Pilkada yang sedang berkecamuk di nanggroe ini. Bentuk kepesimisannya
dan juga bagi beberapa warga lainnya tidaklah tanpa alasan, kepercayaan kepada
pemimpin untuk memegang peranan layaknya seorang pemimpin tak lagi ada. Kata
ingin mensejahterakan masyarakat hanyalah sebuah janji manis sebelum terpilih.
Mereka mengobarkan janji akan membangun nanggroe
ini kearah lebih baik, sektor ekonomi, budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Yang pada akhirnya hanyalah sebuah mimpi dan kalaupun ada pasti tidak
terelisasi dengan baik. Malah terlihat lebih menghambur-hamburkan uang daerah.
Pilkada,
Pilkada dan Pilkada. Itulah yang sedang bergumur di negeri Seramoe ini. Di
media-media tak pernah absen memberitakan tentang pelaksanaan Pilkada, semua
orang seakan terbius dan terlena oleh pemberitaan yang menyangkut dengan Pilkada,
yang tak lain hanyalah berisi perdebatan-perdebatan antar kelompok.
Kelompok yang satu menuding kelompok yang
lain. Pro dan kontra terhadap
kelansungan Pilkada juga tak luput dari perbincangan para aneuk nanggroe ini. Namun
program-program untuk membangun rakyat Aceh tak lagi di perbincangkan seakan
luput dari pemikiran dan pembahasan para penguasa. Kesejahteraan dan keadilan
rakyat terabaikan. Padahal sekedar membahas qanun Pilkada saja hampir dua
milyar anggaran rakyat terkuras.
Dengan
iming-iming demi kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat Aceh, mereka di
undang dalam keunduri politik dengan
harapan Aceh ini akan maju. Sayang, pada kenyataannya keadilan tak pernah
merata, hanya untuk kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat hanyalah sebuah obyek
dalam keunduri politik bukan subyek.
Ini kata Agusta Mukhtar, juru bicara
MPD (Masyarakat Pro Demokrasi) mengenai permasalahan kekuasan elite politik
terhadap masyarakat.
Keputusan
MK (Mahkamah Konstitusi) itu tidak bisa diganggu gugat, kita bisa mengacu pada
pasal 256 yang membolehkan calon independen. MK telah telah memberikan hak
demokrasi dan hak konstitusi bagi rakyat Aceh untuk maju.
Sementara
dilain pihak menolak kebijakan tersebut. Disinilah konflik Pilkada bermula. Ia
juga menegaskan bahwa ini bukanlah konflik regulasi melainkan konflik kepentingan
antar kelompok yang ada di Aceh. Dan menyeret masyarakat dalam ketakadilan elite
politik para penguasa.
“
Sampai saat ini realisasi anggaran APBA 2011 masih sangat minim” dan
realisasinya hanya sampai di dinas-dinas baru berkisar 40 sampai 50 % karena
seluruh komponen atau kelompok yang ada di Aceh hari ini tercurah tenaganya untuk
memikirkan kondisi Pilkada yang akan berlansung. Tidak ada yang membicarakan
program-program tentang kesejahteraan rakyat seperti pembangunan dan
lain-lainnya.
Ia
juga menyampaikan kalau kita mau melihat lebih dalam lagi Pilkada hanyalah
sebuah momentum dalam proses perdamaian di Aceh, masih ada hal-hal lain yang
harus dilakukan oleh legislatife dan ekskutif yaitu memberikan rasa keaadilan
dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh secara menyeluruh. Tidak lagi seperti keunduri politik. Mereka di panggil beramai-ramai
ikut menyukseskan lalu setelah itu, masyarakat sendiri-sendiri, pihak kenduri sendiri-sendiri.
Ia
juga berharap, Pilkada kedepan dapat berjalan damai siapapun yang akan jadi
pemimpin mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh rakyat Aceh.
(15/11)
0 komentar:
Posting Komentar