Kamis, 15 November 2012

DIA

Dia bukan sahabat, tak mau mendengar curhat seperti layaknya sahabat-sahabat lain yang sedang duduk disuatu tempat, lalu membicarakan tentang pasangan masing-masing. Tapi dia bisa hadir tiap saat. Dia juga bukan pacar, tempat sandaran lara ketika jiwa di jamah gulana. Tak buat jantung berdebar, tapi dia membuatku bahagia. Bahkan terkesan gila. Bayangkan saja, dijalan, dikantin, di ruang kuliah, aku tersenyum-senyum kala ia teringat. Apalagi musuh, tentu saja bukan. Ia tak membenciku disaat aku benar ataupun salah.

Nah, tentang wujudnya aku tak bisa ceritakan. Kumis tipis, hidung tegak, dagu meruncing, atau bahkan lainnya. Musabab aku sendiri, tak mengerti betul tentang fisiknya. Sungguh, aku tak melihat itu. Dia tak banyak meminta, seperti yang lainnya. "O, kamu harus ini, kamu harus itu" tidak pernah, sama sekali tidak pernah. Tapi dia hanya punya satu tawaran yang tak bisa ku tolak, yatiu kebahagian. Sungguh, dia seorang yang pemberi, yang tak butuh pamrih. Bahkan untuk menuntut aku harus setia.

Kalian bisa lihat, raut wajah daan bola mataku, dua garis nampak melengkung bening, di ujungnya ada garis pelangi. Diantara itulah dia berada, disekat-sekat yang hanya dapat dilihat dari dekat saja. Meski telah lama aku bersama dia, tak pernah sekalipun ku dengar bisikannya untuk terjebak ke dalam hal-hal yang dangkal ataupun dalam. Seperti mengajak nikah, atau bermesraan. Hmmmm, sama sepertiku yang tak suka diikat ataupun mengikat, berjanji lalu pergi.

Bagaimana bisa ku jelaskannya, tiada kata yang mampu terucap seakan membisu dalam deru, derunya nafas yang hanya terembus kearahnya. Dia datang untuk orang yang terpilih, seperti aku. Dia datang diam-diam muali dari sudut mata, pelan, seperti angin yang merayap lembut didaunan kala senja hari.

0 komentar:

Posting Komentar