Pagi sekali, matahari masih malu-malu menampakkan dirinya dibalik bukit. Seakan
berlomba dengannya, perempuan berkulit sawo matang telah bangkit dan mengambil
beberapa buku di atas meja yang berserakan setelah di baca semalam, hari ini ada
ulangan mata kuliah kimia di kampus. Dengan cepat pintu di buka ia pun turun
melewati satu persatu anak tangga tanpa meneguk segelas air putih pun. Maklum
jarak yang di tempuh dengan jalan kaki sekitar satu kilometer dari kampusnya,
ia memilih jalan kaki untuk menghemat uang saku. Hidup di kota tak semudah di kampung, memang.
Ia menyelusuri trotoar jalan, berjalan pelan sambil menikmati ukiran pagi
begitu indah. Langit nan biru terbentang luas, udara tanpa debu, asap rokok dan
kendaraan. Rimbunan kaki bukit yang hijau burung-burung beterbangan dari satu
pohon ke pohon yang lainnya. Lukisan Tuhan yang tak mampu ditandingi manusia.
Manusia seharusnya bersyukur bukan malah mengotak-ngatiknya. Ah langkah kakinya
mengayun cepat meninggalkan pemandangan yang tak sedap itu.
Tapi di seperempatan jalan mengarah kampus, tiba-tiba telpon genggamnya berdering,
Achiknya yang menelpon “Kawu sagarakan ka
Medan” (kamu harus segera ke medan) suara di sebelah sana. Kakinya gemetar
tegak di atas bumi yang seakan berputar, lusuh seluruh sendinya langit biru
berubah buram seketika, berpegang pada sebatang pohon agar ia tetap dibumi. Terhempas
ia dipersimpangan bersama airmata yang tertahan di kerongkongan, sesak dadanya.
Ia mengerti kabar duka datang menghampirinya.
Sepotong wajah Umaknya bagaikan tampilan slide per slide diruang netranya
yang berkunang. Setelah sebulan yang lalu ia berpisah di bandara SMAC desa
Fajar Harapan Tapak Tuan, dengan Umak tercinta karena pesawat sudah cukup
muatan ia tidak izinkan ikut mengantarkan Umak ke Medan. Masih segar dalam
ingatan, wajah Umak mengerang kesakitan ketika tulangnya digorogoti rasa sakit.
Umak tersayang bernasip malang.
Pada tikungan terakhir ia menghentikan langkah, segudang duka menumpuk
ruang dadannya yang sempit. Wajah yang tersayang mengitari ruang fikirnya. “Benarkah
Umak telah meninggalkan aku”. Ia mencari jalan pulang menelpon pesawat tujuan
Medan tapi tidak ada penerbangan untuk hari itu. Pulang lewat jalan darat pun
tidak ada untuk siang hari. Ia meronta, selayaknya manusia bukan burung yang
punya sayap. Iapun pasrah pada keadaan yang mencekatnya. Keinginan bertemu dan
memeluk Umak ia buang jauh. Walau menyakitkan. Namun mencoba melawan keremukan
jiwa dengan bertasbih “Inikah hukuman untukku, ya Allah”. Tahta pagi seakan berjalan mundur, sebelas jam
lagi bagaikan menunggu tahun. Ia
bersimpuh dalam sujud berjuta peluh, tenggelam dalam bendungan airmatanya
sendiri. Senja kapan kau datang?.
Esok hari, ketika matahari mulai merangkak naik, mobil jenis L300 jurusan
Banda Aceh-Aceh Selatan memasuki sebuah
desa kecil. Azura menunduk lesu di bangku paling belakang. Ia melempar pandang
ke luar lewat jendela kecil, deretan pohon pala seakan saling berkejaran.
Hatinya kian galau, ia masih berharap untuk bisa mencium pipi perempuan yang telah
melahirkannya.
Kini sampailah ia pada kampung kelahiran, tempat mula ia mengenal mimpi,
desa yang akan selalu menjadi kenangan ketika bersama umak. Ia teringat
kenangan puluh tahun yang silam, bersama sang Umak ia berlari kecil sambil
memikul seikat kayu bakar. Masih terasa saat itu Azura minta di gendongkan Umak
menyeberangi sungai kecil. Bening kristal di matanya terus mengalir seiring
berlalunya tempat-tempat yang sering di habiskan bersama Umak. Tak kuasa ia menahan
sambil meremas-remas bungkusan bajunya.
Setelah menempuh sepuluh jam perjalanan dan berhenti di sebuah rumah berdinding
pelepah rumbia. Kini Umak tidak
menungguinya di pintu, seperti saat-saat ia pulang. Sehelai kain merah
meliuk-liuk diikat pada tiang kayu depan rumahnya.
Sesosok lelaki yang tak lagi muda keluar dari rumah dan merangkul Azura
yang baru saja turun dari mobil “Azura, anak Ayaha.” Dadanya sesak membendung isak, tak ada lagi
air mata. Matanya yang cekung kini tak lebih dari sepah tebu yang terbuang.
Kering. Sementara Ayahnya yang sudah basah. Matanya masih mencari sosok yang
akan melengkapkan pelukan Ayah. Seperti biasa saat ia pulang dari Kota. Semua
tertahan di kerongkongan, perih sangat
perih. Penuh bisu dalam pangkuan Ayah menyaksikan kedua adiknya yang masih kecil,
mematung di depan pintu. Tak ada duka pada raut mereka. Padahal perempuan
tempat mereka berlindung kini telah pergi selama-lamanya.
Tanpa Umak rumah terasa sepi. Di langit sana bintang enggan menampakkan
diri. Rintik hujan turun meratap di atap
rumbia, semua bisu dalam kepiluan, malam
berlalu penuh keheningan. Jarum jam menari tanpa henti hingga kepekatan
terjamah jua. Malam telah berbeda, tiada
lagi sapa tegur Umak mengetuk jiwa Azura, tiada lagi jemari Umak bembelai
rambutnya. Kini Umak tersenyum sungging, dengan selendang kuning menutupi
rambutnya yang mulai memutih merekat dalam bingkai kaca dipeluk Azura.
Kesedihan yanga terlalu dalam. Telah lama ia tidak melihat Umak kini semakin
lama dan selama-lamanya.
“Ko alah manjadi jalan mbo” (ini
sudah menjadi jalan ku) ia membujuk hatinya agar tidak larut pada perasaan
penyesalan yang tidak akan ada akhirnya. Airmata kembali membuncah ketika
pandangnya mengarah pada tempat Umak sering rebahan kala dijamah kelelahan.
Dulu, andaikan ia tidak pergi, meninggalkan umak sakit-sakitan dan hijrah
ke kota untuk merubah nasip dan pengetahuan. Ia tak ingin seperti teman-temanya
setelah tamat sekolah lansung menikah dan ikut suami ke sawah. Bahkan ada yang
tidak sempat tamat yang kini sudah punya anak tiga dan empat. Baginya perempuan
punya hak yang sama dalam mencapai perubahan. Mengejar cita-cita itu tidak dilarang itu
prinsip yang di pegangnya.
Ayah yang berjuang hidup mencukupi keluarga, berteman dengan rawa untuk
mencari sesuap nasi dan paginya mencangkul di sawah, pekerjaan itu sudah
menjadi mata pencaharian dikampungnya. Demi
menyekolah ia dan tiga adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Not : Tulisan ini sudah pernah dimuat di Serambi Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar