Kamis, 26 Januari 2012

Si Pembuat Rencong


Lelaki itu (25), tubuhnya tampak bergoyang, terduduk dengan posisi menunduk. Kaki kanan disikukan, sementara sebelahnya lagi dibiarkan menjuntai, menyentuh tanah. Gerakan badannya, sekali kedepan, sesekali ke belakang. Kadang cepat kadang juga lambat. Tangan kanannya, memegang sebilah besi tipis, bergigi-gigi. Dan tangan kiri memegang sebilah kuningan. Lalu ia mempertemukan kedua bilah ditangannya, berkali-kali. Tubuhnya mengikuti gesekan itu, hingga kuningan itu tampak mengkilat. Begitulah seterusnya.

Lelaki disampingku itu bernama Maulidin, ia salah satu pembuat rencong di Baet. Selain ia, ada beberapa pemuda lainnya yang berketerampilan sama. Disana, di gubuk itu ia bersama lima rekan kerjanya saban hari mengikis kuningan-kuninang itu dengan sabar. 

Di gubuk itu, rekannya yang lain, ada yang sedang memanaskan besi. Setelah beberapa saat, hingga besi itu memerah dan berbara. Kemudian, besi yang seakan tak lagi pada wujudnya, di tumbuk-tumbuk dengan besi yang lainnya. Berulang-ulang. Hingga menjadi kerangka pedang.

Maulidin melakukan pekerjaan itu disela-sela kuliahnya yang kosong. Sebelum dan sehabis pulang kuliah, ia menghabiskan waktunya di gubuk yang memang tempat ia mensulap besi-besi itu menjadi sesuatu yang indah dan berharga.

Kedua tangannya dengan keras dan sabar menggosok kuningan-kuningan itu. Memilinnya, meniupkan debu-debu hasil gesekan itu. Keringatnya berjatuhan. Belum terlihat mengkilat, ia mengulangnya lagi. Mengosok dan mengosok. 

Besi potongan rencong itu didapatkan dari orang lain. Ia hanya tinggal merampingkan untuk terlihat lebih cantik dan menarik. Selain itu ia juga menambahkan gagang atau tempat pemegangan rencong. Nah untuk gagangnya, biasaanya terbuat dari tanduk sapi dan kerbau yang didapatkan dari agen juga. Dalam satu tanduk ia bisa menghasilkan empat gagang, dengan harga tanduk tiga puluh ribu rupiah.

Rencong, hasil dari polesan tangan lembutnya juga tak kalah menarik dari pembuat mahir lainnya. Darisanalah ia mendapat suntikan beaya kuliahnya sendiri. 

Pekerjaan membuat rencong itu telah digelutinya sejak ia masih Sekolah Menengah Pertama. Awalnya, katanya, ia hanya sekedar melihat-lihat Ayahnya melakukan pekerjaan membuat rencong, di sela-sela itu ia juga membantu membuat gagangnya. Namun, berjalannya hari kini ia pun tak kalah cepat dari Ayahnya, dalam sehari ia bisa membuat rencong hingga empat bilah. Dalam satu rencong, seharga Lima Puluh Ribu rupiah.
Membuat rencong dinilai Maulidin pekerjaan yang sangat mudah disamping membudidayakan alat tradisional Aceh. Namun, keluhan yang dihadapi Maulidin dan juga pembuat rencong lainnya adalah masalah merosotnya harga. Sementara itu harga besi dan kuningan senantiasa naik, sedangkan rencong hanya berkisaran pada harga-harga yang sama.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

mmm makin tambah maju sekarang ya,,teruslah berkarya,,,hehehehe

Etty Rismanita mengatakan...

Hehehehe, tak seberapa

Posting Komentar