Penembus Batas |
Baru saja kita
berbaik. Namun aku kembali untuk meninggalkan mu disana. Bukan tak cinta.
Bukan. Ada sesuatu yang tak mampu ku jelaskan. Sepatah kata yang sangat ingin
untuk kau fahami. Tapi, entahlah aku ragu. Kau akan memahaminya.
Jelmaan
kelanaku. Sangkiranya kau faham, tiada kehidupan yang ku lalui tanpa dirundung
bayanganmu. Aku pergi lagi. Tak untuk kebersamaan kita. Tapi untuk dia dan dia.
Tapi maaf, hari
itu aku tak sendiri. Aku ditemani oleh beberapa manusia usil, tapi berjiwa
tinggi, semangat menjulang seperti Seulawah Agam yang berpucuk pada bahu awan.
Sedangkan Seulawah Inoeng, adalah semangat kebersamaan yang terjalin
disepanjang jalan. Sekalipun berliku, berlobang dan menanjak. Tapi ia begitu
yakin memberi harapan kepada kami, untuk berjuang demi kemanusian di negeri
seberang sana, yang baru disepuh bandang.
Aduhai kelanaku, aku lupa meminta
izin padamu. Hari itu aku juga melakukan hal yang tak pernah ku lakukan. Dan
kau pasti tak menyukainya. Tapi aku sudah melakukannya, terus bagaimana? Setidaknya
aku telah jujur padamu.
Aku terus
membayangimu, tak dipohon, tak dijembatan, tak ditikungan aku selalu menemukan
sosokmu. Bagaimana tidak? Bukan disana kau menggantung, bukan dipohon,
ditikungan, dijembatan. Tapi memang dibulu mataku. Aku ladat. Tak terasa,
jalanan mulai berubah, ia mulai basah, dan licin. Dinginpun tak mau
ketinggalan. Ia menggerokoti kulit-kulit kami.
Hujan semakin
meratap. Sedangkan kami masih meraba-raba di tengah jalan. Entah dibagian
mana?, sesekali kami berhenti, untuk melerai dingin, keluar dari pelukan hujan.
Saat itu, ada yang ingin berpoto. Mungkin berfikir, tak baik tak mengabadikan
moment langka ini. Namun gadis kecil itu—salah satu dari kami—cepat-cepat
menyembunyikan kameranya, karena takut disambar geulante seperti kata bapak tua tempat singgahan sementara itu.
Ah hujan nakal
itu sedikit mereda. Ku maklum saja, karena sebagian dari kami ada puan-puan
cantik dan muda-muda ganteng. Mungkin hujan ingin menggoda. Malam larut dalam
pekatnya. Hujan pun telah tertinggal disebuah pembatas kota. Tinggal kami,
sekumpulan manusia usil menembus pekat malam, si penembus hujan, telah sampai
dipersimpangan. Ada lega dalam dada, musabab kantuk mengandrungi mata. Rindu
betul badan kami berebahan, ingin betul mata kami berpejam. Ah, rumah untuk
singgah telah dekat.
Di Rumah Kami |
Sesampai di
rumah baru kami, telah di tunggu rupanya. Sajian roti dan kue berwarna hijau
menanti lumatan para penembus-penembus malam dan hujan. Dan tak lupa jua
segelas the manis, pereda tenggorokan yang mengering. Disana ada dua rumah
kami, satunya khusus untuk puan-puan dan satunya untuk pemuda-pemuda itu. Disanalah kami bermalam, merangkai
mimpi-mimpi, mungkin juga tak sempat bermimpi, musabab waktu begitu cepat. Dan beberapa
diantara kami begitu diburu lelap.
Esoknya, matahari
menyipit dari sebelah gunung. Pelan, hingga akhirnya setentang mata. Kami
bergegas, berberes, termasuk berberes dengan urusan perut. Beruntung, saat itu
ada emak yang baik. Ia menyediakan kami teh, kopi dan kue-kue enak. Di jamu
betul.
Sarapan Pagi |
Hari mulai condong,
semalam kami telah membuat perencanaan untuk misi kemanusiaan itu. namun
beberapa hal, akhirnya tak jadi. Sayang betul rancangan kami itu. Setelah
berembuk, puan-puan dan muda-muda tanggung itu beranjaklah segera untuk pulang.
Pulang kekota kecil lagi, kota yang penuh dengan polusi dan sekelumit aktifitas
yang memusingkan kepala, tugas kampus, tugas kerja dan tugas-tugas lainnnya.
Ah Kelanaku,
hampir saja aku melupakanmu. Tapi itu tak mungkin, bagaimana bisa aku melupakan
bagian dari diriku sendiri. Hujan menyambut kami lagi seketika pulang, kami
juga singgah di Bate Iliek, tempat wisata yang ternama di daerah itu. Siang
kami disana. Tanpa piker panjang, atau sekedar membasahkan badan pada air yang
mengalir bening kami lansung pulang. Melanjutkan perjalanan ke kota kami.
Kelana ku, ku
cukupkan saja cerita sampai disini. Perjalanan kami sangat melelahkan, tapi
menyenangkan. Ada banyak cinta yang terlahir disana, tentu juga atas kehadiran
titik-titik hujan. Ia faham betul sepertinya, kondisi jalanan kami saat itu.
Sehingga ia menurunkan diri, membasahkan beberapa hati, melembab hingga butuh
kehangatan. Soal cinta dan rasa benar adanya, aku tidak faham betul. Bukankah
hati hanya pemiliknya yang tahu, berpihak kemana dan lari entah kesiapa.
Tapi
aku hanya sebatas melihat, ada sesuatu disana. Mungkin terlalu sulit untuk
mengakui, entahlah, biar mereka yang menyelesaikannya. Namun ada juga yang
membingungkan, selain dari selayiknya pasangan. Beberapa diantara kami juga
terlihat dekat, ku maklum saja. Hujan memang menghadirkan cinta, sekalipun dari jenis yang sama.
Pasangan Romantis |
Dan satu lagi, hampir aku lupa beberapa diantara kami juga ada yang bersedih, musabab tak ada poto yang terabadikan dengannya. ku harap dia-dia baik-baik saja, tak ada pula hal buruk yang terjadi padanya, apalagi harus bunuh diri. Dia orang yang sabar, kuat dan teguh dalam pendirian.
Bek Moe |
Rapuh |
Yang lain biarlah terlena, semisal gadis kecil yang berkaca mata ini. sekalipun ia mengatakan hatinya rapuh, namun senyumnya selalu seperti bulan yang baru disepuh. Sepanjang jalan ia tertawa, gesit seperti lajunya motornya. Aku juga kurang faham tentang keberadaan pasangan ini, namun satuhal yang sempat ku rekam "kami tak mungkin bersama Kak" ujarnya, entah dalam canda.
0 komentar:
Posting Komentar