Selasa, 15 Januari 2013

PENEMBUS BATAS DAN HUJAN



Penembus Batas

Baru saja kita berbaik. Namun aku kembali untuk meninggalkan mu disana. Bukan tak cinta. Bukan. Ada sesuatu yang tak mampu ku jelaskan. Sepatah kata yang sangat ingin untuk kau fahami. Tapi, entahlah aku ragu. Kau akan memahaminya. 

Jelmaan kelanaku. Sangkiranya kau faham, tiada kehidupan yang ku lalui tanpa dirundung bayanganmu. Aku pergi lagi. Tak untuk kebersamaan kita. Tapi untuk dia dan dia.

Tapi maaf, hari itu aku tak sendiri. Aku ditemani oleh beberapa manusia usil, tapi berjiwa tinggi, semangat menjulang seperti Seulawah Agam yang berpucuk pada bahu awan. Sedangkan Seulawah Inoeng, adalah semangat kebersamaan yang terjalin disepanjang jalan. Sekalipun berliku, berlobang dan menanjak. Tapi ia begitu yakin memberi harapan kepada kami, untuk berjuang demi kemanusian di negeri seberang sana, yang baru disepuh bandang. 

Aduhai kelanaku, aku lupa meminta izin padamu. Hari itu aku juga melakukan hal yang tak pernah ku lakukan. Dan kau pasti tak menyukainya. Tapi aku sudah melakukannya, terus bagaimana? Setidaknya aku telah jujur padamu.
Aku terus membayangimu, tak dipohon, tak dijembatan, tak ditikungan aku selalu menemukan sosokmu. Bagaimana tidak? Bukan disana kau menggantung, bukan dipohon, ditikungan, dijembatan. Tapi memang dibulu mataku. Aku ladat. Tak terasa, jalanan mulai berubah, ia mulai basah, dan licin. Dinginpun tak mau ketinggalan. Ia menggerokoti kulit-kulit kami. 

Hujan semakin meratap. Sedangkan kami masih meraba-raba di tengah jalan. Entah dibagian mana?, sesekali kami berhenti, untuk melerai dingin, keluar dari pelukan hujan. Saat itu, ada yang ingin berpoto. Mungkin berfikir, tak baik tak mengabadikan moment langka ini. Namun gadis kecil itu—salah satu dari kami—cepat-cepat menyembunyikan kameranya, karena takut disambar geulante seperti kata bapak tua tempat singgahan  sementara itu.

Ah hujan nakal itu sedikit mereda. Ku maklum saja, karena sebagian dari kami ada puan-puan cantik dan muda-muda ganteng. Mungkin hujan ingin menggoda. Malam larut dalam pekatnya. Hujan pun telah tertinggal disebuah pembatas kota. Tinggal kami, sekumpulan manusia usil menembus pekat malam, si penembus hujan, telah sampai dipersimpangan. Ada lega dalam dada, musabab kantuk mengandrungi mata. Rindu betul badan kami berebahan, ingin betul mata kami berpejam. Ah, rumah untuk singgah telah dekat.
  
Di Rumah Kami
Sesampai di rumah baru kami, telah di tunggu rupanya. Sajian roti dan kue berwarna hijau menanti lumatan para penembus-penembus malam dan hujan. Dan tak lupa jua segelas the manis, pereda tenggorokan yang mengering. Disana ada dua rumah kami, satunya khusus untuk puan-puan dan satunya untuk pemuda-pemuda itu.  Disanalah kami bermalam, merangkai mimpi-mimpi, mungkin juga tak sempat bermimpi, musabab waktu begitu cepat. Dan beberapa diantara kami begitu diburu lelap.

Esoknya, matahari menyipit dari sebelah gunung. Pelan, hingga akhirnya setentang mata. Kami bergegas, berberes, termasuk berberes dengan urusan perut. Beruntung, saat itu ada emak yang baik. Ia menyediakan kami teh, kopi dan kue-kue enak. Di jamu betul.
Sarapan Pagi

Hari mulai condong, semalam kami telah membuat perencanaan untuk misi kemanusiaan itu. namun beberapa hal, akhirnya tak jadi. Sayang betul rancangan kami itu. Setelah berembuk, puan-puan dan muda-muda tanggung itu beranjaklah segera untuk pulang. Pulang kekota kecil lagi, kota yang penuh dengan polusi dan sekelumit aktifitas yang memusingkan kepala, tugas kampus, tugas kerja dan tugas-tugas lainnnya. 

Ah Kelanaku, hampir saja aku melupakanmu. Tapi itu tak mungkin, bagaimana bisa aku melupakan bagian dari diriku sendiri. Hujan menyambut kami lagi seketika pulang, kami juga singgah di Bate Iliek, tempat wisata yang ternama di daerah itu. Siang kami disana. Tanpa piker panjang, atau sekedar membasahkan badan pada air yang mengalir bening kami lansung pulang. Melanjutkan perjalanan ke kota kami. 

Kelana ku, ku cukupkan saja cerita sampai disini. Perjalanan kami sangat melelahkan, tapi menyenangkan. Ada banyak cinta yang terlahir disana, tentu juga atas kehadiran titik-titik hujan. Ia faham betul sepertinya, kondisi jalanan kami saat itu. Sehingga ia menurunkan diri, membasahkan beberapa hati, melembab hingga butuh kehangatan. Soal cinta dan rasa benar adanya, aku tidak faham betul. Bukankah hati hanya pemiliknya yang tahu, berpihak kemana dan lari entah kesiapa. 

Tapi aku hanya sebatas melihat, ada sesuatu disana. Mungkin terlalu sulit untuk mengakui, entahlah, biar mereka yang menyelesaikannya. Namun ada juga yang membingungkan, selain dari selayiknya pasangan. Beberapa diantara kami juga terlihat dekat, ku maklum saja. Hujan memang menghadirkan cinta, sekalipun dari jenis yang sama.
Pasangan Romantis
Dan satu lagi, hampir aku lupa beberapa diantara kami juga ada yang bersedih, musabab tak ada poto yang terabadikan dengannya. ku harap dia-dia baik-baik saja, tak ada pula hal buruk yang terjadi padanya, apalagi harus bunuh diri. Dia orang yang sabar, kuat dan teguh dalam pendirian. 

Bek Moe


Rapuh
Yang lain biarlah terlena, semisal gadis kecil yang berkaca mata ini. sekalipun ia mengatakan hatinya rapuh, namun senyumnya selalu seperti bulan yang baru disepuh. Sepanjang jalan ia tertawa, gesit seperti lajunya motornya. Aku juga kurang faham tentang keberadaan pasangan ini, namun satuhal yang sempat ku rekam "kami tak mungkin bersama Kak" ujarnya, entah dalam canda.

0 komentar:

Posting Komentar