Kamis, 24 Januari 2013

Rela Berbagi



Spesial
Pergilah. Temui yang terkasih itu. Penuhi kewajibanmu. Kelak bila masanya tiba, maka kembalilah seperti sediakala padaku. Aku menunggumu, sekalipun hari sudah senja. Dan selama itu pula, biar aku merawat sepi ini seperti biasa. Seperti saat-saat kau tinggalkan aku untuk merantau. Akan ku simpan rindu ini dalam bingkisan-bingkisan cinta, kelak kita kan membukanya. Untuk keduakalinya. 

Sebatas pengertianku, telah ku lepaskanmu, merelakanmu untuk dia. Ia perempuan sama sepertiku, aku tau betul apa yang dia rasakan ketika anak-anaknya tak tumbuh bersama Ayahnya. Aku sudah cukup. Sekarang gilirannya. Kenyataan ini pahit. Pahit sekali. Aku harus membagi suami, membagi jiwaku sendiri untuk perempuan lain. Tapi aku harus melakukannya, harus.


Pergilah, lukamu belum ku mengerti, suamiku. Meskipun aku selalu bilang, aku mengerti. Nyatanya tidak. Maka pergilah. Aku merestuimu. Mungkin dalam kehidupan yang ku jalani, tak sepenuhnya hak ku, ada sebagian hidup orang lain didalamnya. Aku harus merelakannya. Dengan mu, aku dihadiahkan belahan-belahan jiwa. Namun disana, belahan-belahan jiwa itu juga meretas, dari rahim yang beda.

Kau tak perlu khawatir, akan ku rawat anak-anak bandel, titipan Allah ini. Buah hati kita. Semampuku. Di rumah yang baru saja kita bangun sekalipun hanya 4x4 luasnya. 

Andai kau tahu, aku sangat bahagia  membangun rumah ini. Rumah yang sejak lama ku impikan.  Yang mana, aku ingin kita punya rumah sendiri, meskipun kecil daripada kita harus menyewanya. Dan kau mewujudkan keinginanku, kau beri aku rumah. Beratap rumbia, berpanggung, dan berdinding papan. Sedangkan di depannya, sawah dengan padi ranum. Di tepi-tepinya, tegaklah beberapa pohon cemara. Ialah yang membuat rumah ini semakin teduh. Jauh dari bising kota. Senyap. Sunyi. Tapi didalamnya tak pernah sunyi.

Suamiku, kau memberiku sebuah harapan. Dimana masa depan kita hidup bahagia, anak-anak kita tidak bandel lagi. Ia patuh, giat dan rajin belajar. Ia dapat rangking 1 di sekolah. Sejak itu aku hanya melihat kita, disana, dipintu waktu. Menunggu untuk mengecup bahagia. Seperti kecupanmu dalam sunyi.  Aku melihat semuanya. 

Lihat anak kita, ia merapih rumah ini dengan cinta. Lihat, bola matanya berbinar. Tak ada luka disana. Bening. Tulus. Seperti cinta Ayah dan Emaknya. Lihat lagi, anak kita yang paling muda, ia membersihkan lantai begitu semangat. Ah padahal ia masih terlalu kecil untuk melakukan itu. Tapi aku membiarkannya, anak kita memang harus rajin bukan?. Kelak ia bisa mandiri.

Sedangkan yang mengusir rayap, itu anak kita yang paling tua. Aku melihat dirimu, dalam anak kita itu. Matanya mirip sekali dengan mu, tapi hidungnya mirip denganku. Ia lebih dewasa dari yang lainya, ia membimbing adik-adiknya layaknya seorang Abang. 

Dan anak kita yang perempuan, ia mencongkel-congkel debu di sudut-sudut ruangan. Dihari yang hendak petang itu, aku menemukan sesuatu yang keluar dari bibirnya. Ya, sebuah nama. Entah nama siapa. Tapi nama itu begitu asing, bukan nama Ayah, bukan namaku, juga bukan nama adik dan Abangnya. Mungkin nama seseorang yang bernaung jauh dibawah atap hatinya. Kelak, akan ku tanyakan secara pribadi dengannya, mungkin ia mau jujur.

Ini dia satu lagi anak perempuan kecil kita, ia gesit, lincah. Suka main air. Meskipun bahasanya masih terbata-bata, namun terkadang ocehannya ada maknanya juga. Mereka bercanda, bertawa lepas. Seperti Ayah dan Emaknya. 

Ada yang galau, ada yang risau, terjebak diantara dua rasa, kualitas surga dan kualitas dunia. Dan anak kita yang perempuan ini, punya cinta mendalam rupanya. Entah dalam canda ia mengeluarkan satu nama. Tentu, ini merenggut kaget. Semua kita tercengang, ia anak yang pemalu, tetapi punya lelaki pujaan juga. Hampir aku mgira ia tidak normal. 

Temaram menggantung dilangit. Hitam merajam di ujung bukit. Waktu telah berganti, seiring bandul jam yang menari. Tawa berganti menjadi tangis. Menjadi duka. Aku terhempas disini, dalam sunyi bersama  anak-anak yang bandel. Kau pergi. Menemui yang terkasih. Aku berhak atasmu. Ia juga. Aku punya anak denganmu. Ia juga. Aku mencintaimu. Ia juga. Katanya kau mencintaiku, katamu kau juga mencintainya. Aku terlalu riang dengan bahagia yang kau tawarkan, sehingga aku lupa dalam bola matamu, di balik bayanganmu, dibias senyum, dalam doamu. Ada sosok lain. Yaitu perempuan itu. Pergilah. Temui yang terkasih itu. Gila ! aku mau berbagi.



0 komentar:

Posting Komentar