Spesial |
Pergilah. Temui yang terkasih itu.
Penuhi kewajibanmu. Kelak bila masanya tiba, maka kembalilah seperti sediakala
padaku. Aku menunggumu, sekalipun hari sudah senja. Dan selama itu pula, biar
aku merawat sepi ini seperti biasa. Seperti saat-saat kau tinggalkan aku untuk
merantau. Akan ku simpan rindu ini dalam bingkisan-bingkisan cinta, kelak kita
kan membukanya. Untuk keduakalinya.
Sebatas pengertianku, telah ku
lepaskanmu, merelakanmu untuk dia. Ia perempuan sama sepertiku, aku tau betul
apa yang dia rasakan ketika anak-anaknya tak tumbuh bersama Ayahnya. Aku sudah
cukup. Sekarang gilirannya. Kenyataan ini pahit. Pahit sekali. Aku harus
membagi suami, membagi jiwaku sendiri untuk perempuan lain. Tapi aku harus
melakukannya, harus.
Pergilah, lukamu belum ku mengerti,
suamiku. Meskipun aku selalu bilang, aku mengerti. Nyatanya tidak. Maka
pergilah. Aku merestuimu. Mungkin dalam kehidupan yang ku jalani, tak
sepenuhnya hak ku, ada sebagian hidup orang lain didalamnya. Aku harus
merelakannya. Dengan mu, aku dihadiahkan belahan-belahan jiwa. Namun disana,
belahan-belahan jiwa itu juga meretas, dari rahim yang beda.
Kau tak perlu khawatir, akan ku rawat
anak-anak bandel, titipan Allah ini. Buah hati kita. Semampuku. Di rumah yang
baru saja kita bangun sekalipun hanya 4x4 luasnya.
Andai kau tahu, aku sangat
bahagia membangun rumah ini. Rumah yang
sejak lama ku impikan. Yang mana, aku
ingin kita punya rumah sendiri, meskipun kecil daripada kita harus menyewanya.
Dan kau mewujudkan keinginanku, kau beri aku rumah. Beratap rumbia,
berpanggung, dan berdinding papan. Sedangkan di depannya, sawah dengan padi
ranum. Di tepi-tepinya, tegaklah beberapa pohon cemara. Ialah yang membuat
rumah ini semakin teduh. Jauh dari bising kota. Senyap. Sunyi. Tapi didalamnya
tak pernah sunyi.
Suamiku, kau memberiku sebuah
harapan. Dimana masa depan kita hidup bahagia, anak-anak kita tidak bandel
lagi. Ia patuh, giat dan rajin belajar. Ia dapat rangking 1 di sekolah. Sejak
itu aku hanya melihat kita, disana, dipintu waktu. Menunggu untuk mengecup
bahagia. Seperti kecupanmu dalam sunyi.
Aku melihat semuanya.
Lihat anak kita, ia merapih rumah ini
dengan cinta. Lihat, bola matanya berbinar. Tak ada luka disana. Bening. Tulus.
Seperti cinta Ayah dan Emaknya. Lihat lagi, anak kita yang paling muda, ia
membersihkan lantai begitu semangat. Ah padahal ia masih terlalu kecil untuk
melakukan itu. Tapi aku membiarkannya, anak kita memang harus rajin bukan?. Kelak
ia bisa mandiri.
Sedangkan yang mengusir rayap, itu
anak kita yang paling tua. Aku melihat dirimu, dalam anak kita itu. Matanya
mirip sekali dengan mu, tapi hidungnya mirip denganku. Ia lebih dewasa dari
yang lainya, ia membimbing adik-adiknya layaknya seorang Abang.
Dan anak kita yang perempuan, ia
mencongkel-congkel debu di sudut-sudut ruangan. Dihari yang hendak petang itu,
aku menemukan sesuatu yang keluar dari bibirnya. Ya, sebuah nama. Entah nama
siapa. Tapi nama itu begitu asing, bukan nama Ayah, bukan namaku, juga bukan
nama adik dan Abangnya. Mungkin nama seseorang yang bernaung jauh dibawah atap
hatinya. Kelak, akan ku tanyakan secara pribadi dengannya, mungkin ia mau
jujur.
Ini dia satu lagi anak perempuan
kecil kita, ia gesit, lincah. Suka main air. Meskipun bahasanya masih
terbata-bata, namun terkadang ocehannya ada maknanya juga. Mereka bercanda, bertawa lepas.
Seperti Ayah dan Emaknya.
Ada yang galau, ada yang risau, terjebak diantara dua
rasa, kualitas surga dan kualitas dunia. Dan anak kita yang perempuan ini,
punya cinta mendalam rupanya. Entah dalam canda ia mengeluarkan satu nama.
Tentu, ini merenggut kaget. Semua kita tercengang, ia anak yang pemalu, tetapi
punya lelaki pujaan juga. Hampir aku mgira ia tidak normal.
Temaram menggantung dilangit. Hitam merajam di ujung bukit. Waktu telah berganti, seiring bandul jam yang menari. Tawa berganti menjadi tangis.
Menjadi duka. Aku terhempas disini, dalam sunyi bersama anak-anak yang bandel. Kau pergi. Menemui
yang terkasih. Aku berhak atasmu. Ia juga. Aku punya anak denganmu. Ia juga.
Aku mencintaimu. Ia juga. Katanya kau mencintaiku, katamu kau juga
mencintainya. Aku terlalu riang dengan bahagia yang kau tawarkan, sehingga aku
lupa dalam bola matamu, di balik bayanganmu, dibias senyum, dalam doamu. Ada
sosok lain. Yaitu perempuan itu. Pergilah. Temui yang terkasih itu. Gila !
aku mau berbagi.
0 komentar:
Posting Komentar