net |
Kini aku berusia enam tahun,
tepat dua bulan yang lalu dimana hari pertama aku melihat cinta, kasih sayang,
semangat dan kebersamaan dari kelopak mata kecilku. Gejolak kelahiran itu
terlahir dari jiwa-jiwa yang menolak tertindas, jiwa-jiwa yang merindukan
keteduhan dan kedamaian. Lebih tepatnya aku dilahirkan saat-saat kehidupan
sedang dalam musim kematian, gersang dan kemarau yang berkepanjangan. Dimana
musim, silih berganti dalam hitungan kedipan mata. Dimana kehidupan malam berjalan
tanpa sinar bulan dan kehidupan siangnya berjalan dalam kebutaan. Dimana
senyuman adalah gua kegelapan yang dibungkus dengan indah dan tangisan adalah
himne-himne perjuangan yang layak dialunkan diseluruh taman ini.
Sementara, disudut sana para
musafir kehidupan terbungkuk-bungkuk, tertatih, menyampir beban diluar
kemampuan bathin mereka. Dalam negeri taman ini, pada hari itu hanya diisi oleh
kerangka-kerangka yang hidup, berjalan dengan dahaga, dengan panas yang
membakar ubun-ubun. Mereka duduk diatas aturan-aturan yang mencekam, mencekik
dan membunuh secara perlahan. Gejolak inilah dasar kelahiranku di tanah ini,
oleh jiwa-jiwa yang tak menutup mata, jiwa-jiwa yang bersuara lembut.
Suara mereka hilang, atau sengaja
disimpan? Entahlah, hanya tangis yang membelah hari kehidupan kegelapan dan
kematian itu. Tangis ketika para musafir tak kunjung pulang, tangis ketika
musafir tenggelam dalam pasir kepanasan, tangis ketika bekal sudah habis namun
jalan masih panjang. Lalu apakah aku diutuskan untuk menyelamatkan para musafir
itu, memberi mereka minum, makan dan mengajak insaf para pemberi aturan? Atau
seperti saat Tuhan mengirimkan Nabi ke muka bumi ini untuk menyelamatkan
kehidupan manusia? Tentu tidak. Aku bukan nabi.
Aku hanya sebatang pohon yang baru 6 tahun, daun ku hanya beberapa helai tentu belum bisa memberi keteduhan bagi para musafir. Dahan ku juga tak begitu banyak, masih rapuh dan kecil. Sedangkan akarku hanya berjarak senti kedalam tanah sana. Jangankan ke dada bumi, jangankan ke jantung bumi. Kulitnya saja, belum tembus.
Aku hanya sebatang pohon yang baru 6 tahun, daun ku hanya beberapa helai tentu belum bisa memberi keteduhan bagi para musafir. Dahan ku juga tak begitu banyak, masih rapuh dan kecil. Sedangkan akarku hanya berjarak senti kedalam tanah sana. Jangankan ke dada bumi, jangankan ke jantung bumi. Kulitnya saja, belum tembus.
Aku ditanam dengan segempal tanah
keberanian, dalam segempal tangan yang akan meninju langit. kelak. Sedangkan batangku
tumbuh dari benih kebersamaan--bersama-sama kita bersuara dan menggapai
kedamaian. Aku, pohon yang ditanam oleh hati-hati kokoh, kuat dan tak tahan
melihat kematian yang dipenuhi dengan penderitaan, hingga pada akhirnya
kehidupan itu hanyalah kesia-siaan. Dari semangat, bagai menyulut api dalam
kawanan jerami kering. Jiwa mereka itulah rahim tempat aku menetas beberapa tahun silam.
Hingga pada hari ini, aku masih
begitu muda apalagi di negeri taman ini. Dahanku baru empat, dalam setahun
nasip mujur hanya datang sekali. Sudah begitu takdirnya. Sedangkan
ranting-rantingku masih terlalu rapuh, mudah patah dan kemudian jatuh. Dimana
ranting-ranting tua adalah penyokong tubuh sebab dengan jiwa semuda ini aku
masih mudah rubuh, jikalau lagi di terpa badai Utara dari petang hingga subuh.
Belum lagi ranting muda, mereka itu seperti anak-anak panah yang baru
diluncurkan. Saat terbang jauh setelah dilepaskan, aku tetap akan menjadi busur
yang diam.
Daun-daunku terkadang juga
berguguran, terbawa angin entah kemana, menghilang tak untuk kembali. Tapi aku
tetap akan menjadi tangkai yang diam ketika bunga-bunganya layu. Kecuali mereka
yang akan bangun sendiri, kembali menatap teriknya matahari dan membangun
singgasana dengan jiwa yang bersayap.
Di sebuah lingkaran kecil dibawah
sayapnya terik alam, saat kehidupan berada di bawah kegembiraan dan kesenangan
untuk pertama dan terakhir kalinya di tahun ini. Untuk sebuah ikatan yang
hampir terlepas, untuk sebatang pohon diambang kematian dan untuk sebuah rumah
yang disandarkan kesunyian, dimana jiwa-jiwa yang seperti dulu itu hadir
kembali. Dimana, ranting, dahan dan daun seperti mendapatkan secangkir air kehidupan
yang turun dari keharibaan langit setelah dilanda dahaga untuk masa yang tak
terhingga, meneguklah hingga habis. Hingga mabuk, dan semabuk-mabuknya.
Diawal Juni hujan turun di pagi hari, rantingku bertambah empat, daunku
bertambah lebat. Semoga akan menjadi bunga yang memekarkan, harum dan wangi.
Dan batang ini akan menjadi peneduh bagi jiwa-jiwa yang ketakutan dan
kepanasan. Mungkin aku harus bersyukur untuk beberapa tetes air mata langit yang turun, membasahi hati yang dihinggap debu-debu kematian.
Cemara dan akarnya akan menjadi saksi, dentuman ombak adalah himne
kita. Kita telah berjalan di pinggir pantai, jejak dengan cepat dijilat lidah
gelombang. Dulu kita juga pernah melakukannya. Membuat candi dengan pasir-pasir,
namun kembali roboh. Kita akan tetap melakukannya bila waktu mengizinkan lagi,
hingga ombak itu menyerah menjilat candi dan jejak kita.
Kajhu, 02 Juni
0 komentar:
Posting Komentar