Minggu, 24 Februari 2013

Tentang Kami dan Hujan

Ini tentang kami. Kami yang selalu bertemu didalam hujan. Sibiru, si abu-abu, sihitam, si merahtua dan sijantan tangguh atau kami menyebutnya Yah Manoek. Kisah ini berawal dari sebuah bengkel, akibat kesialan sibiru, simerah tua terpaksa mengeluarkan 17 lembar recehan sepuluh ribu pada tukang bengkel, kosonglah jadinya dompet. 

Tapi ini sungguh, sebenarnya bukan karena kesialan sibiru. Mungkin beginilah hidup, sakit dan sehat , miskin dan kaya hanya masalah waktu saja. Kali ini mungkin simerah sedang di uji, iapun tak ambil pusing. Sebab merajok pula nanti, bila menuduh orang lain sial.

Kami berlima. Empat puan dan satu jantan. Kami suka main hujan. Hujan menjadi saksi kebersamaan kami. Namun pada hari itu, entah apa yang membuat sijantan itu terbawa bersama kami. Entah ia pemilik dari salah satu hati diantara puan-puan cantik itu. Hanya dia yang tau. Kamipun tak mau menebak. Takut salah dan timbul fitnah nanti. Kami hanya sebatas melihat dengan mata telanjang, ada sesuatu diantara tatapan dan sirat-sirat pandangan keduanya, sesuatu yang hanya mereka yang mengerti. Ada benang-benang kusut, benang cinta atau lainnya. Sepertinya.


Seperti biasa, hujan tiba lagi petang yang membayang itu. Ya hujan, ia selalu datang menghampiri kebersamaan kami. Menghadirkan cinta, sahabat, tawa dan segala rasa yang tak biasa. Kami dalam hujan. Membiarkan ia membasahi tubuh-tubuh kami adalah suatu yang biasa.  Kami suka hujan. Hujan pembawa cinta.

Bukan kami namanya, kalau tak pernah mengabadikan moment-moment yang terlewat. Sebab waktu ada batasnya, seperti halnya umur yang bertambah sehingga meninggalkan kerutan-kerutan diwajah. Tentu juga untuk daya ingat yang melemah. Makanya kami mengabadikan, kebersamaan bahkan cinta. Kalau bisa.


Cucok
Ibu-Ibu Pejabat
Selain sempat mengabadikan beberapa fose di Taman Putroe Phang, cerita kami berlanjut hingga Pantai Ule Lheue. Kami kini berempat, sijantan merayap entah kemana. Biarlah, mungkin sedang terbawa angin petang.

Kami memilih tempat yang paling dekat dengan pantai, supaya bisa melihat riak gelombang dan sudut langit yang melengkung diujung laut sana. Biar angin bebas menyapa kami, barangkali ada luka dihati yang mampu dibawa pergi. 

Kami ini perempuan, tentu banyak luka dan kecewa yang tersimpan didalamnya. Walau tak pernah terlihat, karena kebersamaan menutupnya erat-erat. Sepertinya halnya sibiru, ia tersenyum bebas namun seperti terpasung. Harus memikirkan Simio yang habis baterai, tentu ini membuat ia gelisah. Karena Simio teman sejatinya dia saat berdinas. Kalau berbicara si merah tua, ia hanya gadis desa tentu segala luka berlabuh padanya. Sedangkan sihitam, ia gesit. Apalagi siabu-abu, semakin tak jelas tajuknya.
Hutang le that


Larut dalam melumat jagung, larut kami dalam canda dan tawa. Dalam paripurna singkat itu, mulai dari ekonom, politik bahkan sampai pada merebut kemerdekaan. Itulah topik yang selalu hangat di bibir kami. Dan seperti biasa lagi, hujan semakin mengguyur sepertinya ia ikut ambil bagian dari cerita kami. Ia ingin kami membicarakan tentangnya. Tentangnya yang selalu jatuh saat kami bersama, menghanyutkan segala duka, problema dan keresahan. Kami mendekap hujan, mendekap cinta dan mendekap kebersamaan.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

keren, bahasanya cucok bangeett dan menghibur :)

Etty Rismanita mengatakan...

:). tq, ceritanya gak jelaspun he

Posting Komentar