Kamis, 11 Juli 2013

Dalam Sebuah Truk ke Negeri Dingin

Dok. Pribadi
Cerita ini terlalu panjang, kami melakoninya selama 24 jam x 4 kali dimulai pada hari minggu dan berujung di Rabu siang. Entah darimana aku harus memulainya? dari tawa, cemberut, marah, panik, takut ketika harus menyaksikan mobil terbalik di tubuh Inang-Inang dan wajah-wajah sibuk itu, atau dari gempa yang menggoyang ditengah rasa panik atau sebuah truk kuning yang selalu bocor ban. Atau dari hujan yang datang tiba-tiba? ya, hujan !. Hujan memang suka menghadirkan sesuatu yang tidak di mengerti dengan akal tapi untuk kali ini aku tidak mau menerka-nerka, biar mereka yang memutuskan untuk memulai atau pun mengakhiri yang tidak terterka itu. Ah seperti mengulang cerita lama saja, saat empat perempuan lajang menjadi pemeran dalam dialog hati yang singkat itu. (hehehe


Dok. Pribadi
Jika berbicara di mulai dari hujan, aku seperti mati kata. Dalam truk ini, tidak semua mengerti dengan hujan, ketika ia turun dari haribaan langit yang mendung, mereka menghalaunya, mengusir bahkan mencacinya. Mungkin, hujan bagi mereka hanya sebatas penggangu saja. Namun, sepasang bola mata yang tersudut di sudut truk dapat melihat sebuah senyum ketika titik-titik hujan jatuh di palataran bumi, senyum yang tak terbaca bahkah oleh ahli fisiognomi dunia. Hujan seperti perekat kerinduan lama, hujan seperti catatan baru oleh cerita tempo, dan hujan ,,, hanya mereka yang tahu, bukankah soal hati hanya pemiliknya yang tahu. Inilah, yang tak ku fahami, senyum itu saling bertemu, dan hati itu saling bergetar dan ingat kembali berputar pada saat menembus batas dan hujan. Agh,,,

Dok. Pribadi
Tawa membahana, bergelak dalam lucu. Namun ketika semua berada dalam satu kesempatan, lelaki dan perempuan selalu ada kisah yang menarik. Ini lumrah, namanya juga manusia. Ada pancing dan ada ikan, ada tiket dan juga pembeli. Entahlah, itu urusan anak muda. Tapi ada jua yang tak senang, ketika bau truk mengobrak-ngabrik isi perut, keluar dengan paksa. Namun aku memilih diam di sudut truk, entahlah hati dan jiwa sulit diajak damai. Aku hanya pengamat, mengamati tingkah-tingkah mereka dalam menghibur sesama.

Dok. Pribadi
Truk melaju cepat, meninggalkan batas dan menembusi hujan.  Sejumlah jiwa bersatu dalam dingin malam, dingin yang menggerogoti tulang-tulang. Sebagian terlelap dalam kantuk, sebagian memilih melawan malam dan dingin yang kejam.

Tiada lagi senyum, tiada lagi tawa bahana, jalan telah jauh tertempuh, kini garis-garis lelah bermain di raut wajah. Hanya terdiam menikmati angin di malam buta, menikmati terjalnya jalan, bebatu dan berdebu. Kekuatan hati membuat mereka bertahan hingga ke satu tujuan, negeri dingin yang sedang dalam keprihatinan.

Dok. Pribadi
Mereka tidak membawa uang banyak, material yang cukup. Tapi secuil kepedulian, rasa berbagi yang hendak mereka salurkan untuk saudara senegeri yang sedang porak-poranda oleh gempa yang berkuatan 6,2 SR beberapa hari yang lalu. Negeri Dingin retak, terluka, berdarah dan menangis. Mereka mahasiswa parantau, sebagian datang dari Barat Selatan, Utara dan Timur, bersatu dalam sebuah truk, melebur dari segala warna almamater. Inilah alasan yang mengantarkan mereka ke negeri dataran tinggi ini.

Perjalanan ini sangat panjang, cerita ini juga tak sanggup ku untaikan, segala nikmat dan hikmah biar mereka menyimpan di hati masing-masing dan juga untuk seluruh anak negeri yang telah memberi. Kita telah melakukannya secara bersama-sama, berduka dan berbahagia, semoga selalu ada cinta diantara kita entah dalam bentuk apapun.

0 komentar:

Posting Komentar